01.Rumah itu tidak pernah sunyi

540 96 168
                                        

---

Rumah itu tidak pernah sunyi.

Bahkan saat semua orang di dalamnya saling diam, suara tetap ada. Entah itu bunyi langkah kaki Nala yang berlari-lari di lantai atas sambil tertawa nyaring, atau suara TV yang dinyalakan tanpa ada yang benar-benar menonton. Kadang, suara Mama yang menelepon entah dengan siapa di ruang kerjanya, atau suara Mbak Lala yang menyalakan blender terlalu pagi.

Tapi tak pernah sunyi bukan berarti hangat. Kadang, justru sepi terasa lebih manusiawi.

Aku menyandarkan kepala di dinding kamar, menatap langit-langit yang mulai mengelupas di salah satu sudut. Warnanya putih, tapi bukan putih bersih. Putih yang kelelahan. Seperti rumah ini. Seperti aku.

Hari ini hari Senin pagi, dan aku belum berganti seragam.

"Gue tinggal ya, Ra!" suara Lutfian terdengar dari bawah. "Lo buruan siap siap, nanti telat."

Aku mendengar pintu depan dibuka dan ditutup dengan cepat. Abangnya memang selalu begitu. Terlihat cuek, tapi selalu pamit. Beda denganku, yang bahkan sering pulang tanpa ada yang sadar.

Kupaksakan kaki untuk bergerak ke lemari. Kemeja putih dan rok abu-abu tergantung seadanya. Kusut, tapi masih layak pakai. Aku malas menyetrika. Malas bicara. Malas merasa.

Pintu kamar diketuk pelan. Dua kali, aku tahu siapa.

“Kak, ayo makan dulu dong...” Suara itu manja. Manja minta dilempar pakai sendal,
Namanya Nala adikku.

Aku tidak menjawab. Tapi dia tetap masuk.

Tanpa permisi. Seperti biasa.

“Ini, Mbak Lala suruh aku bawa susu ke kamar lo. Tuh, perhatian banget, ya?” dia meletakkan piring kecil di atas meja belajar yang lebih sering dipakai naruh baju dari pada buat belajar. “Tapi lo jangan salah paham ya, ini bukan dari gue. Gue mah ogah repot.”

Aku menatapnya. Diam. Nala menarik napas panjang, lalu menatapku dengan senyum tipis yang menyebalkan.

“Kenapa sih lo selalu kayak gitu? Kayak... tembok?”

Aku tetap diam. Suaranya terlalu ringan untuk kata-kata yang seharusnya berat.

"Gue turun dulu deh. Nanti Mama ngomel," katanya lagi sambil berbalik.

Aku menatap punggungnya sampai menghilang. Dalam hati aku bertanya-tanya—sejak kapan rumah ini membuatku merasa seperti tamu?

---

Jam setengah 7 lebih aku baru keluar kamar. Seragam sudah dipakai, tas diseret malas, dan rambut diikat asal-asalan. Mama ada di meja makan, wajahnya tenggelam di layar laptop. Sambil makan, sambil mengetik, sambil mengomel ke telepon.

"—nggak bisa hari ini, saya sudah ada meeting. Tolong atur ulang jadwalnya!"

Nala duduk di seberangnya, sarapan sambil main ponsel. Mbak Lala mondar-mandir dari dapur ke ruang makan, seperti satelit yang orbitnya nggak pernah berhenti.

"Hera, makan dulu sana," kata Mbak Lala lembut.

Aku cuma mengangguk, lalu duduk. Mengambil sepotong roti dan menyendok sedikit telur dadar. Rasanya nggak penting. Makanan di rumah ini jarang terasa.

“Mau diantar, Her?” tanya Mbak Lala sambil menaruh kotak bekal kecil di atas meja.

Aku menggeleng. Lebih suka jalan kaki. Setidaknya saat jalan, aku bisa pura-pura tidak kenal siapa pun.

Mama melirik jam tangan, lalu berdiri tergesa-gesa. “Nala, nanti Papa yang jemput. Hera, jangan pulang terlalu malam.”

Aku tidak menjawab. Lagi dan lagi.

Mama mencium pipi Nala, lalu keluar rumah sambil tetap bicara di telepon, hanya Nala seperti biasa.

Aku menunduk. Roti tinggal setengah, dan rasanya seperti karet.

---

Di luar, matahari belum terlalu panas. Jalan ke sekolah melewati deretan rumah-rumah lain yang juga sibuk dengan rutinitas masing-masing. Aku berjalan perlahan, melewati pohon ketapang yang daunnya selalu gugur bahkan saat tidak musim gugur.

Di kepalaku, ada banyak suara. Tapi semuanya tidak penting.

Aku anak tengah. Kakakku laki-laki, adikku perempuan. Kakakku pintar, rajin, dan katanya bisa diandalkan. Adikku manja, pintar menarik perhatian, dan katanya butuh lebih banyak pengertian.

Lalu aku?

Tidak pintar. Tidak manja. Tidak perlu dipahami. Tidak perlu dilihat.

Mungkin aku cuma filler episode dalam hidup mereka.

---

Sampai di sekolah, suasananya tidak jauh beda. Ramai tapi sunyi. Aku masuk ke kelas, duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Satu-satunya tempat yang memungkinkan kabur secara emosional, kalau bukan secara fisik.

“Her, PR matematika udah?” suara Intan, teman sekelasku yang satu-satunya masih rutin ngajak ngobrol.

“Belum.”

“Ya ampun. Mau nyontek dong nanti pas jam kosong.”

Aku mengangguk tanpa ekspresi. Intan sudah terbiasa.

Kadang aku mikir, apa orang-orang seperti aku memang tercipta untuk dilupakan?

---

Di jam istirahat, aku duduk di taman sekolah. Sendirian, bermainan daun, mennyoret-nyoret buku, atau sekadar berfikir kosong. Aku lebih suka begini. Tidak perlu menjelaskan apa pun.

Hidup sudah cukup berat bahkan tanpa harus pura-pura senyum.

Tiba-tiba, ada satu pesan masuk di HP-ku.

Bang Lutfian

Hera, jangan lupa makan. Mbak Lala bilang kamu cuma makan roti doang tadi pagi. Jangan nyusahin badan sendiri.

Aku menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menaruhnya di tas.

Kadang, bahkan dari orang yang juga cuek, aku masih bisa merasa dilihat. Meskipun sebentar. Meskipun hanya satu pesan.

Tapi mungkin, satu detik dilihat... sudah cukup untuk hari ini.

---

Ini cerita pertama aku huhu
Semoga suka deh ya
Bantu komen kalo ada salah-salah kata ya✨

 In Omnia Paratus [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang