TAYANA

92 12 1
                                    

Aku juga ingin sempurna
---

Tayana Osha Dhara Anak dari keluarga Wistara. Si bungsu dengan kekurangan nya. Terlahir dengan keadaan buta membuat Tayana dibenci keluarga nya. Tayana tidak pernah meminta kepada tuhan untuk terlahir dalam keadaan buta. Namun, kenapa ia harus terlihat dalam keadaan buta?

Dijauhi oleh keluarga, dan di asuh oleh seorang pelayan bermuka dua sejak bayi. Bukan hanya Keluarga, bahkan pelayan rumah nya pun melakukan hal sama. Pelayan yang mengasuh nya sejak kecil suka memberikan luka fisik atau batin. Tapi, selalu berlaga menjadi tameng untuk Tayana di hadapan keluarganya.

Sehina itu kan orang yang terlahir dengan kekurangan nya?

Sejak kecil Tayana sering sakit karena sejak bayi meminum susu formula, bukan asi. Kekurangan gizi membuat tubuh Tayana kurus tak terurus. Tayana juga tidak sekolah. Keluarga nya tidak mempedulikannya. Karena, dia buta.

"Kamu itu kalau jalan lihat-lihat, kenapa!? Kamu engga lihat kalau minuman yang kamu bawa itu tumpah di berkas ayah kamu, hah!? Disuruh sekali tapi engga pernah becus. Nyusahin!" Bentak Rati- Ibunda Tayana.

Tayana menunduk dan meraba meja yang bahas bekas tumpahan jus jeruk yang tidak sengaja dia jatuh kan. "Maaf, bunda. Tayana bakal bersihkan meja nya."

Rati melotot bahkan jika ada di animasi kartun mungkin bola mata nya akan keluar. "Ini bukan masalah meja yang kotor! Kamu engga lihat berkas ayah kamu itu basah hah!? Kamu tahu seberapa berharga nya berkas itu? Berkas itu lebih berharga dari pada kamu." Tunjuk Rati. "Mangkanya kalau jalan itu lihat-lihat!" Bentak nya lagi. Membuat para pelayan keluarga Wistara menahan tawa.

"Maaf, bunda. Tapi tayana buta."

Rati mendengus kesal. "Entah dosa apa yang saya perbuat hingga punya anak buta kaya kamu. Andai saja saya tahu kamu buta, sudah saya gugurkan kamu. Membuat malu keluarga suami saya kamu itu."

Deg!

Seperti ditusuk ribuah jarum hati Tanaya terasa sakit mendengarkan kalimat yang di lontarkan sang ibu. Bukan kalimat pertama, tapi yang kesekian kali yang berhasil membuat tayana sakit dan sesak di dada nya.

"Kenapa masih diam disana? PERGI! SAYA ENEG LIAT KAMU!"

Tayana kembali tersentak mendengar bentakan sang bunda dan langsung pergi ke kamar nya dengan tongkat di tangan nya yang membantu dia untuk berjalan.

Sakit tuhan.

🌟🌟🌟

"Non Aya?" Panggil Juru masak keluarga Wistara. Sebut saja Pak Wirya.

Tayana mengentikan langkah kecil nya dan menatap sang juru masak dengan tatapan kosong nya itu. "Iya. Kenapa, pak?"

"Tadi saya masak nasi goreng buat, non Aya. Non, belum makan dari tadi pagi."

Tayana tersenyum mendengar nada khawatir Pak Wirya. "Terimakasih, Pak." Tayana menerima piring yang berisi nasi goreng kesukaannya. Sederhana bukan?

"Hati-hati non, nanti jatuh lagi." pesan pak Wirya sebelum kembali ke dapur.

Sederhana tapi tayana suka tuhan.

Tayana melangkah dengan pelan dan hati-hati supaya dia tidak jatuh untuk kedua kali nya. Dia sangat lah lapar dan ingin segera makan makanan kesukaan nya. Tayana senang walaupun yang mengkhawatirkan nya adalah sang koki bukan keluarga nya.

Bruk!

Prang!

Tayana kembali jatuh. Dengan piring yang telah pecah yang membuat lantai kotor.

"Shh." Tayana berdesis merasa kaki nya terlihat terkena pecahan beling.

Sedangkan dibelakang sana kedua orang pelayan tertawa puas setelah berhasil mengerjai Tayana.

"Rasain, tuh!"

"Mampus kan. Hahaha ..."

Keduanya bertos ria melihat Tayana jatuh. Hari ini mereka berhasil mengerjai Tayana untuk kedua kali nya. Pertama mengerjai Tayana dengan menaruh tali di sekitar meja ruang tamu dan menarik nya ketika Tayana lewat, dan yang kedua menyiramkan minyak di lantai.

Kedua nya bersembunyi ketika melihat nyonya rumah datang menghampiri si Bungsu.

"Ya Ampun!"

Tayana tersentak mendengar seruan sang ibu.

"Kamu tuh ya ... BISA DI KASIH TAHU PAKE BAHASA MANUSIA ENGGA SIH!?" Intonasi Suara Rati meninggi dengan nafas yang ngos-ngosan melotot melihat piring mahal nya jatuh pecah di lantai.

"Maaf, bunda. Tapi tayana jatuh karena ada yang licin di lantai." Tayana berucap lirih berusaha membela diri.

Tayana memang buta tapi dia bisa merasakan penyebab dia selalu jatuh. Dan, dia juga tidak begitu bodoh meski dia tidak sekolah. Dia tahu bahwa semua ini ulah kedua pelayan kesayangan bunda nya. Mirna dan Ayu.

"Alah alasan kamu itu! Udah lah, muak saya. Pergi sana." Usir Rati.

"I-iya, bun."

🌟🌟🌟

Tayana mengusap boneka beruang miliknya. Boneka yang ia dapatkan dari puteri pak Wirya.

"Bomi, bunda selalu marah sama aya. Mba Mirna sama Mba ayu suka jailin Aya. Aya cape, Bomi."

Tayana menghela nafas panjang. Ia lelah dengan semuanya. Ia ingin hidup damai tanpa merasakan masalah. Ia ingin melihat dunia. Bukan kegelapan. Ia ingin kepalanya diusap dengan penuh kasih sayang. Ia ingin di nasihati secara lembut. Ia ingin di sayangi.

Tapi, itu hanyalah khayalan nya. Hanya angan semata yang tidak akan bisa ia wujudkan.

"Tayana engga mau terlahir dengan buta, tuhan. Kenapa, aku harus terlahir dengan keadaan buta? Aku juga ingin terlahir sempurna seperti kakak ku tuhan."

Lagi dan lagi tayana mengeluh kepada tuhan. Dengan tangisan yang begitu memilukan. Dia selalu di bandingkan, dia selalu merasa terbuang dalam keluarga nya.

"Benar kata bunda. Seharusnya, aku engga lahir." Tangisan nya semakin kencang dengan pikiran nya yang berisik.

Tidak ada yang mengusap punggung nya, tidak ada yang memberikan dekapan hangat, tidak ada yang memberikan sapu tangan untuk menghapus air matanya dan tidak ada kata-kata penenang. Karena tidak ada yang peduli dengan nya.

Tok...
Tok... !

"Non, Aya?"

Tayana lekas mengusap air mata nya dengan cepat dan mengambil tongkatnya.

"Iya, pak."

Pak Wirya terhenyak melihat wajah sembab nona muda nya.

"Pak?"

"Eh, maaf non. Saya kesini cuman mau ngasih makanan non." Pak Wirya menyentuh tangan tayana dan memberikan makanan itu ditangan tayana.

"Eh, pak ini ..."

"Tadi saya mau masak lagi buat non. Tapi, tadi ada tetangga baru memberikan makanan sebagai tanda keakraban. Ini engga ada bawang merah nya kok non." Jelas pak Wirya. "Yauda saya balik dulu non."

"Iya pak. Terimakasih."

"Sama-sama non. Dan juga, jangan banyak-banyak nangis ya non." pesan pak Wirya sebelum pergi meninggalkan kamar tayana.

Tayana menunduk merenung pikiran nya kembali berisik.

Ternyata yang peduli cuman pak Wirya.

.
.
.




TAYANA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang