-------
Seharusnya rumah adalah tempat yang paling nyaman di dunia. Tapi tidak bagi Hera. Bagi gadis itu, rumah hanyalah bangunan penuh suara yang tak pernah benar-benar menyentuhnya.
Sore itu, hujan turun tipis. Langit kelabu, jalanan basah, dan aroma tanah menenangkan sebagian orang. Tapi bagi Hera, semuanya hanya latar. Ia pulang tanpa semangat, lagi.
Begitu membuka pintu, ia disambut suara tawa Nala dari ruang keluarga.
“Ma! Aku tuh pengen yang warna rose gold! Nggak mau yang silver!”
Nindi menjawab dari ruang tengah. “Yang penting fungsinya sama, Nala.”
“Enggak! Pokoknya kalau nggak rose gold, aku nggak mau pake!”
"Ya udah, nanti beli sama Mama."
Hera memutar bola mata. Drama hari ini dimulai lebih cepat.
Ia menuju dapur, menemukan Mbak Lala sedang menggoreng bakwan. Aroma wangi yang seharusnya mengundang lapar hanya menambah kepalanya yang pusing.
“Laper, Nduk?” tanya Mbak Lala sambil tersenyum.
“Nggak,” jawab Hera pelan. “Cuma pengen duduk.”
Ia menarik kursi dan duduk, memeluk lutut. Mbak Lala tak bicara lagi. Mungkin sudah tahu. Atau sudah lelah menanyakan hal yang sama sejak Hera kecil.
Dulu, Hera masih mau cerita. Sekarang, ia sudah belajar bahwa tidak semua telinga benar-benar mendengar.
---
Beberapa menit kemudian, Mamanya muncul. “Hera, kamu udah isi formulir beasiswa sekolah belum? Mama dapet info dari guru BK.”
“Belum,” jawab Hera singkat.
“Cepet ya, sebelum ditutup. Mama pengen kamu bisa ambil kelas tambahan.”
Hera ingin bilang, “Untuk apa? Mama sendiri nggak tahu aku sukanya apa.” Tapi ia hanya mengangguk, lalu berdiri dan naik ke kamar.
---
Di kamarnya, Hera menyalakan laptop dan membuka formulir itu. Isinya pertanyaan standar: nama, nilai, prestasi, alasan mengajukan beasiswa.
Ia berhenti di kolom "Ceritakan tentang dirimu."
Tangannya menggantung di atas keyboard. Ia menatap layar kosong cukup lama sampai huruf-huruf terasa seperti beban.
Tentang diriku? Yang mana? Yang cuek? Yang sendirian? Yang pura-pura baik-baik saja?
Akhirnya ia mengetik:
“Saya adalah siswi kelas 11. Saya cukup mampu mengikuti pelajaran. Tidak banyak bicara. Tidak banyak terlihat. Tapi saya hidup. Itu cukup, kan?”
Kemudian ia hapus semuanya dan menutup laptop.
---
Malam harinya, suara TV di ruang keluarga terdengar pelan. Nala tertawa di sebelah Nindi, memamerkan sesuatu di ponselnya.
“Nih, Ma, liat! Aku masuk feed akun sekolah! Foto yang ini bagus banget, kan?”
“Iya, cantik. Kamu emang paling bisa nyari angle,” balas Nindi sambil menepuk kepala Nala.
Dari balik tembok, Hera mendengarkan. Bukan karena peduli. Tapi karena ia ingin tahu rasanya ada di momen itu, sudah lama sekali ia tidak mendapatkan momen itu. Duduk bersama, tertawa, diperhatikan. Bukan hanya dipanggil saat butuh.
Lutfian, kakaknya, baru pulang malam itu. Ia langsung menuju dapur, membuka kulkas, lalu menemukannya kosong.
“Kulkas isinya cuma air putih, serius?” gumamnya keras.
Hera muncul dari balik dinding. “Mbak Lala lagi beli sayur. Mama lagi di ruang tengah, sibuk sama Nala.”
Lutfian menatap Hera sebentar. “Lo oke?”
Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi juga begitu asing.
“Enggak tahu,” jawab Hera jujur.
Lutfian tidak memaksa. Ia hanya duduk di kursi dapur dan menghela napas. Mereka diam cukup lama, hingga suara hujan terdengar jelas dari jendela.
“Kadang...,” kata Lutfian akhirnya, “rumah tuh bukan tempat tinggal. Tapi tempat di mana kamu harus bertahan.”
Hera menoleh. “Dan kalau capek bertahan?”
“Jangan mati dulu,” jawab Lutfian lirih. “Coba lari pelan-pelan, atau coba jalan pelan-pelan, kalau masih sulit merangkak pelan. Tapi jangan mati, Her.”
Untuk pertama kalinya sejak lama, Hera merasa dimengerti meski hanya setitik. Meski hanya oleh seseorang yang sama-sama patah di tempat yang sama.
Dan malam itu, rumah tetap tidak menjadi pulang. Tapi setidaknya, ia tidak sendirian.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Teen FictionHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...