Dokter Dermawan

155 26 3
                                    


Membantu sesama adalah sebuah kewajiban, selama kita mampu kenapa tidak?

Arzali Bimantara

"Bu Prillyza! Tolong! Dafa kecelakaan!" Gadis yang awalnya fokus pada lembaran tugas muridnya terperanjat kaget mendengar teriakan rekannya sesama guru. Spontan ia menjatuhkan pulpen yang tengah dipengangnya. Berlari keluar dari ruang guru bahkan tanpa mengenakan alas kaki.

Tidak jauh dari tempatnya sekarang, seorang murid laki-laki terbaring di atas beton jalan dengan beberapa luka yang mengeluarkan darah, anak itu tidak sadarkan diri.

"Astagfirullahhalazdim!" teriaknya. Segera menghampiri siswa sekolah dasar itu. "Bagaimana bisa, Pak?" tanyanya pada seorang satpam. Satpam itu hanya menggeleng dengan wajah panik, nampak sekali bahwa beliau sedang schok.

Tanpa memperhatikan sekitar, Prillyza segera mengangkat tubuh mungil itu, membiarkan jilbab lebar serta pakaiannya terkena darah. Yang terpenting sekarang adalah membawa Dafa ke rumah sakit. Ia menyetop taksi, lalu pergi menuju ke rumah sakit terdekat.

"Bu, ongkosnya?" tanya si supir taksi, tapi Prillyza malah berlari masuk hingga si supir mengejarnya.

"Hei! Bu, bayar dulu ongkosnya!" teriak si supir.

Prillyza membaringkan tubuh yang terkulai lemas itu di brankar, membiarkan suster kembawanya ke ruang IGD. Sementara ia mencari semuatu di saku baju batik yang ia kenakan.

"Saya hanya ada ini, Pak. Apa cukup?" tanyanya, menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Saking paniknya ia bahkan sampai melupakan semuanya. Ia tidak membawa apa pun.

"Tidak apa Bu, yang penting dibayar." Setelah menerima uangnya si supir pamit pergi sementara Prillyza segera masuk, menyusul tim medis yang membawa muridnya.

Namanya Prillyza Anindya, gadis berusia 23 tahun yang saat ini bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar. Awalnya Ayahnya ingin dia menjadi Arsitek seperti Beliau, tapi sayangnya Prillyza kurang berminat dibidang itu. Ia lebih menyukai pekerjaan yang seperti neneknya, seorang guru sekolah dasar.

Gadis itu berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD, sembari terus merapalkan doa untuk anak laki-laki yang merupakan siswa kelas tiga.

Sesekali ia membenarkan letak jilbab lebar yang dikenakannya.

Pintu terbuka, seorang suster menghamipiri Prillyza.

"Bu," panggil suster bername tag Sanam itu.

"Iya? Bagaimana keadaan murid saya?"

"Dia mengalami patah tulang di kaki kirinya, Bu, harus segera melakukan tindakan operasi. Untuk itu silakan Ibu urus dulu biaya administrasinya. Saya permisi."

"Astagfirullah, bagaimana ini, ya Allah."

Gadis itu berjalan cepat menuju resepsionis, ia akan meminta keringanan dulu, semoga saja bisa.

"Silakan diisi datanya, Bu." seorang suster menodorkan kertas yang berisi data pasien yang harus diisi. Prillyza segera menuliskan data diri Dafa.

"Sus, maaf, saya lupa membawa dompet dan ponsel. Apakah bisa saya minta supaya pasien ditangani dulu?" tanyanya, menyerahkan formulir yang telah selesai ia isi.

"Maaf Bu, tidak bisa. Karena harus mengikuti prosedur yang ada."

Tubuh Prillyza menunduk lesu. Ia duduk merenung di bangku dekat resepsionis. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tidak hafal nomor rekan kerjanya. Orang tuanya? Mereka berada di luar kota. Lalu kira-kira siapa yang bisa dimintai bantuan?

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang