Rindu dan Resah

88 15 0
                                    

Hati itu rumit , ketika kamu di sini ia seolah enggan tapi ketika kamu pergi ia seolah menginginkan.

Prillyza Anindya

Dua minggu yang terasa bagai dua bulan, entah mengapa hari-hari dalam dua minggu terakhir yang dijalani Prillyza terasa begitu berat dan lebih melelahkan dari biasanya. Setelah pertemuannya dengan Arzali dua minggu lalu sampai hari ini, tidak ada satupun pesan dari dokter muda itu juga tidak pernah sekali pun ia bertemu dengannya.

Prillyza yang baru selesai mengajar siang ini mendudukkan diri di kursi ruang guru, diambilnya ponsel dari tas kerjanya dan kembali dibuka ruang chatnya dengan Arzali. Namun nihil, tidak ada sepatah kata pun yang dikirimkan lelaki itu. Resah menyelimuti Prillyza. Apakah ini artinya, Arzali berhenti? Lelaki itu tidak benar-benar mencintainya dan memutuskan untuk melepaskan Prillyza dengan Haidar?

Hati kecil Prillyza merasa sesak memikirkan hal itu, perlahan, hatinya luluh pada sosok Arzali yang entah mengapa nampak begitu sempurna di matanya. "Ke mana dia?" gumam Prillyza, terselip berbagai pertanyaan lain tapi ia tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Dilipatnya kedua siku dan diletakkan di atas meja sebagai tumpuan kepalanya yang menunduk. Memejamkan mata sejenak tapi sialnya, Arzali seolah tidak memberinya ruang untuk sekadar merasa tenang. Bayangan wajah rupawan yang tersenyum ke arahnya dengan kedua mata menyipit membuatnya merasakan delusi.

Bolehkah ia meminta Arzali datang sekarang juga? Saat ia tengah dilanda gundah gulana yang benar-benar menganggu hampir di setiap aktivitasnya dua minggu ini.

Prillyza tengah resah dan menyesali satu hal. Kenapa tidak sejak awal ia katakan bahwa ia mungkin juga merasakan hal yang sama seperti apa yang Arzali rasakan. Kekaguman yang bisa mejadi rasa lebih dalam tetapi sayangnya diselimuti keraguan.

Prillyza kembali menegakkan tubuhya, diam saja tanpa melakukan apapun justru semakin memperumit tiap pikiran rumit yang berkecamuk di otaknya. Kepalanya terasa berdenyut memikirkan mengapa Arzali tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi tanpa kabar dan tanpa berpamitan serta memikirkan bagaimana solusi untuk keresahan yang terus menerus melandanya.

"Gue kenapa, sih!" gerutunya kesal pada diri sendiri, dengan bibir yang tidak berhenti berkomat-kamit mengomel entah pada siapa, Prillyza membereskan setiap barang keperluannya yang selalu dibawa ketika bekerja ke dalam tasnya. Jam mengajarnya sudah selesai dan ia tengah memikirkan satu nama yang mungkin bisa diajak bicara mengenai permasalahannya.

**

"Sebuah keajaiban seorang Prillyza tiba-tiba mengirim pesan untuk bertemu," kata seorang gadis dengan balutan gamis dan hijap panjang lengkap dengan cadar yang menutup sebagian wajahnya.

"Ra? Akhirnya!" Prillyza segera berdiri dan memeluk teman lamanya, sudah dua tahun terakhir mereka tidak bertemu karena memang perempuan yang menjadi temannya sejak SMP itu telah menikah dengan seorang Gus.

"Apa kabar?"

"Baik banget, bahagia juga." Keduanya tertawa. Setelahnya duduk di kursi masing-masing. Mereka bertemu di salah satu restoran terdekat dari tempat perempuan itu tinggal, sebab kondisinya yang tengah berbadan dua tidak memungkinkan untuk pergi terlalu jauh.

"Udah mau jadi ibu juga, wah wah."

"Maunya si dipanggil Ummi." Prillyza tersenyum, sahabatnya yang dulu tidak ada kalemnya sama sekali kini berubah menjadi wanita muslimah yang sangat anggun, sopan dan tentunya kalem.

"Masya Allah, sehat-sehat ya anak dan umminya."

"Aamiin."

"Omong-omong mau cerita apa?"

"Aku lagi bingung sama sesuatu, Ra." Perempuan yang dipanggil Ra itu menyernyitkan keningnya.

"Kenapa? Masalah kerjaan?" Prillyza menggeleng. "Terus? Kamu di jodohin?" Prillyza kembali menggelang. "Terus apa masalahnya?" Terselip nada kesal di sana yang membuat Prillyza tertawa kecil. Kedua tangannya terulur mencubit pelan pipi sahabatya yang tertutup cadar namun Prillyza tahu, pipinya pasti gembil seperti badannya, hehe.

"Sabar, ya Ummi Keira yang cantik," katanya menggoda.

"Sebenarnya, mau cerita soal sesuatu. Tapi janji, jangan ketawa." Keira mengangguk dua kali tanda setuju dengan permintaan Prillyza, bibirnya tengah asik mengunyah kentang goreng yang dipesannya dengan sasus keju favoritnya.

"Jadi, beberapa bulan lalu aku ketemu sama dokter muda."

"Dan jatuh cinta?" sela Keira. Ia tertawa melihat Prillyza cemberut.

"Engga juga sih," kata Prillyza sanksi. "Tapi kalau ditanya gimana tanpa dia rasanya kaya hampa banget." Raut wajah Prillyza nampak muram.

"Jujur kalau soal kagum ada sih, dia laki-laki baik. Tapi, kalau baik Haidar juga baik. Cuma, aku masih mau lanjutin karir. Kamu ada saran?

"Kan, makanya, nikah muda itu engga salah kok. Buktinya? Aku masih bisa ngajar walau sudah jadi istri, yang penting komunikasi. Kalau kamu emang suka sama dokter itu ya terima aja, jalani aja dulu. Baiknya si nikah, biar pacarannya halal." Menjeda sejenak untuk meneguk jus mangga, Kiara kembali menatap Prillyza. "Terus gimana sama Haidar? Udah dua kali kan ditolak?"

"Dia sepertinya belum mau menyerah."

"Kalau dia balik lagi? Mau diterima?" Prillyza menggeleng tidak tahu. "Kalau milih antara dokter itu atau Haidar?" Prillyza mengedikkan bahu.

"Gini deh!" Keira menghela napas jengah. "Apa yang kamu rasain sekarang? Kalau gak ketemu Haidar gimana?"

"Biasa aja, bahkan pas nolak dia juga engga sampai resah gini."

Keira tersenyum. "Berarti yang bikin resah karena dokter itu hem?" Prillyza mengangguk jujur. Tidak ada gunanya juga bukan berbohong?

"Fiks!" Keira bersorak gembira. "Aku si percaya, jodohmu sudah di depan mata selagi belum jadi milik cewek lain gas in aja. Nikah muda gak ada salahnya, Kok."

"Aku bingung dan ragu. Aku gatau gimana jelasinnya. Aku engga ada nolak Dokter Arzali, justru ngerasa tiap ada dia rasanya seneng banget. Tapi kalau dia saja ragu sama perasaannya. Gimana denganku?" tanya Prillyza.

"Coba tanya, mungkin ada sesuatu yang mengganjal buat dia. Intinya saran dari ummi ini, komunikasikan bicarakan baik-baik. Pelan-pelan aja, engga perlu teburu-buru. Dan satu lagi, kalau emang suka, bilang iya aja. Kalau disanggah terus takutnya dia malah mundur."

Prillyza mengangguk paham. Memang semua yang dikatakan oleh Keira ada benarnya. Mungkin rasanya memang telah jatuh pada sosok Arzali. Tanpa sadar, keberadan dokter muda itu telah memiliki pengaruh besar untuk hidupnya. Sekarang keputusan ada di tangannya juga Arzali. Bagaimana mereka akan mengambil langkah ke depan atas hubungan mereka.

"Apa aku harus minta kepastian?" tanya Prillyza.

"Ada baiknya tapi kalau dia memang berniat baik, aku yakin dia yang akan datang padamu."

Prillyza tersenyum, mengingat kata Arzali sebelumnya. Bersediakah menunggu? Apa itu artinya lelaki itu akan segera menyelesaikan semuanya?

"Sabar dulu," kata Keira menasihati. "Mending makan, dulu, keburu dingin lho. Galau boleh kelaperan jangan. Aku tahu kok yang ditunggu bukan hanya kepastiannya tapi juga orangnya. Jauh dari orng yang disayang emang sering bikin rindu. Jadi sabarlah menunggu."

Wajah Prillyza bersemu malu. Rindu? Benarkah semua resah yang menimpa dirinya bukan hanya karena kebingungan mengambil keputusan untuk bersama Arzali atau tidak? Tapi juga karena ia merindukan sosok dokter muda penuh pesona itu?

*

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang