Marahnya Arzali

137 14 0
                                    

Hati yang pernah sehancur itu, apa pantas disandingkan dengan hatimu yang utuh?

Arzali Bimantara

Suara bantingan pintu mobil yang ditutup dengan sepenuh tenaga terdengar memekakkan telinga. Hifza yang berdiri di depan pintu rumah berniat menyambut kepulangan putranya siang ini, karena memang Arzali mendapat bagian shift malam.

Wanita paruh baya itu dibuat mengelus dada dan geleng kepala melihat tingkah putranya. Hifza berjalan cepat menghampiri Arzali yang berdiri di samping mobil dan tidak kunjung melangkah masuk ke rumah.

Dilihatnya kedua bahu Arzali naik turun dengan wajah memerah padam, napasnya terdengar memburu dengan kedua tangan yang terkepal kuat-kuat. Matanya terpejam rapat dengan bibir bawah yang digigitnya.

"Arzali!" teriak Hifza panik. Tidak pernah melihat Arzali pulang dalam kondisi begini sebelumnya. "Kenapa sayang?" tanyanya. Kedua tangannya mengelus kedua tangan Arzali yang terkepal.

Perlahan kedua mata Arzali terbuka, bola hitam legam itu nampak memerah dengan kelopak mata yang menampung genangan bulir beningnya. Melihat putranya dalam keadaan tidak baik-baik saja, Hifza segera memeluknya.

Arzali menyambut dan membalas pelukan bundanya dengan erat menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hifza dan menangis tanpa suara di sana. Dadanya terasa panas dan sesak diwaktu yang bersamaan, kepalanya terasa berat seolah terasa dipukul dengan tongkat base ball.

"Kenapa sayang?" tanya Hifza sekali lagi.

"Bunda," lirih Arzali. Namun hanya gumaman pelan dan berulang memanggil bunda tanpa ada jawaban atas pertanyaan yang Hifza ajukan. Perlahan wanita paruh baya itu mengurai pelukannya. Disekanya jejak air mata di pipi dan rahang Arzali kemudian dituntunnya si sulung memasuki rumah.

Setelah Arzali duduk di sofa Hifza segera ke dapur untuk mengambilkan air minum tidak lupa mengirimkan pesan untuk suaminya agar segera pulang. Kondisi rumah yang sepi membuatnya merasa bersyukur, sehingga anak-anaknya yang lain tidak perlu melihat kondisi kakak tertua mereka yang sedang tidak baik-baik saja.

"Minum dulu," katanya, membantu Arzali memegang gelas sebab tangan pria itu bergetar. Melihat Arzali yang perlahan mulai tenang, Hifza memulai membuka pembicaraan.

"Ada apa sebenarnya?"

"Prillyza." Nama yang terasa tidak asing ditelinga Hifza membuat kening wanita paruh baya itu menyernyit. Apakah ini berarti kondisi Arzali sekarang ada hubungannya dengan gadis itu?

"Ada apa dengan Prillyza, Arzali?" tanya Hifza tangannya mengelus dan menepuk pundak Arzali beberapa kali.

"Bunda, apakah Arzali pantas jatuh cinta pada seseorang?"

"Pertanyaan apa itu Arzali? Setiap orang berhak untuk mencintai orang lain. Apa kamu mencintai Prillyza?"

Arzali menggeleng ragu. Dia bahkan masih belum bisa menyimpulkan rasa apa yang ada dalam dirinya untuk Prillyza. Kekaguman akan sosoknya atau mencintainya? Yang Arzali tahu dia merasa marah ketika Prillyza mengatakan bahwa ia akan menerima lamaran Haidar dan ia merasa bahwa ia ingin Prillyza menjadi miliknya.

Arzali tidak mau ada lelaki lain yang bisa memiliki Prillyza. Tapi satu sisi, ia merasa tidak pantas untuk perempuan sesempurna Prillyza. Baginya Prillyza terlalu cerah bagi dirinya yang memiliki begitu banyak sisi gelap dan kelam di masa lalunya. Arzali belum sepenuhnya sembuh dari trauma besar itu.

"Katakan apa yang kamu rasakan?" desak Hifza. Dia beberapa kali melirik ke pintu berharap suaminya segera pulang.

" Arzali tidak tahu Bunda. Dia, dia membuatku merasa suatu hal yang benar-benar asing. Prillyza perempuan baik, dia istimewa, mungkin, tapi... Aku merasa tidak pantas untuknya."

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang