Jika hati telah memutuskan memilihmu maka dengan senyum kuterima semua tentangmu.
Prillyza Anindya
Senyum Prillyza tidak luntur selama seharian. Kegundahan juga semua pemikiran negatif tentang Arzali menguar dan lenyap begitu saja. Husna, si bungsu sampai dibuat bingung dengan tingkah kakak sulungnya itu seharian ini. Padahal beberapa hari kebelakang, kakaknya terlihat banyak pikiran juga lelah. Namun, semua berbeda hari ini, tidak lebih tepatnya perubahan drastis itu terjadi setelah pertemuannya dengan Arzali.
"Ada angin apa, nih? Seharian senyumnya kaya pakai formalin awet banget." Husna menyindir Prillyza terang-terangan di depan anggota keluarga. Saat ini keluarga cemara itu tengah berkumpul di meja makan menikati hidangan sederhana.
Malik juga meraskan hal sama dengan Husna, merasa usai kembalinya dia tadi wajah putri bungsunya nampak berbeda. Lebih bersinar juga berseri bahagia.
"Memang hari ini ada yang spesial?" tanya Malik, turut menimpali godaan Husna pada kakaknya.
Husna tersenyum penuh kemenangan, kembali ia berucap, "Hem kayaknya yang spesial sih bukan harinya, Yah. Tapi yang datang tadi." Prillyza melotot, kakinya menendang pelan kaki Husna, si empunya malah mengaduh dengan keras dan lebainya.
"Kakinya kenapa nendang-nendang ada yang salah, ya?" tanya Husna dengan wajah menyebalkan dan kedua alisnya bergerak naik turun menggoda.
Zarif memilih mengabaikan kelakuan kakak dan adiknya, ia fokus menikmati telur dadar balado kesukaannya. Rasanya ia benar-benar malas untuk sekadar ikut canpur. Tubuhnya sudah sangat lelah dan butuh istirahat.
"Siapa sih yang datang?" Kan, sekarang Zakia turut ambil bagian dalam percakapan absurd yang diciptakan Husna.
"Siapa ya? Husna ingat si wajahnya ganteng tapi namanya. " Husna mengetukkan jari telunjuknya ke dagu, seolah tengah berpikir dengan keras. Beberapa saat kemudian menatap Prillyza dengan usilnya bertanya, "namanya siapa, Kak?"
Wajah Prillyza sudah memerah malu sekaligus kesal. Bisa-bisanya ia habis digoda oleh Husna. Adiknya itu sangat pandai mencari kesempatan untuk memojokkan dirinya.
"Siapa Kak?" tanya Malik kali ini nadanya terdemgar tegas.
Mau tidak mau Prillyza angkat bicara,"Dokter Arzali." Singkat dan jelas juga terdengar sangat manis. Jantung gadis itu berdetak seolah memberontak ketika nama ajaib itu disebut.
"Oh, jadi dokter tampan, eh Dokter Arzali." Husna masih belum puas menggoda. Zakia hanya geleng kepala. Putrinya ini benar-benar jahil. Persis seperti Malik ketika zaman SMA dulu.
"Jadi?" Prillyza hanya diam, bukan waktu yang tepat mengatakannya. Apalagi ada Husna si biang jahil. Prillyza tidak yakin bisa selamat dari keisengan adiknya itu.
Malik tersenyum, ia cukup peka dengan apa yang dirasakan putrinya. Diliriknya Zakia dengan tatapan yang seolah tengah memberikan isyarat.
Zakia membalasnya juga, dengan lirikan dan senyuman yang sama.
"Setelah ini, ke rungan Ayah, ya?" Prillyza mengangguk menyetujui.
Sesuai janjinya, usai makan malam, Prillyza langaung naik ke lantai dua untuk menemui Malik. Keduanya duduk di sofa yang berada di ruang kerja pria paruh baya itu.
"Jadi, bagaimana?" tanya Malik tanpa basa-basi. Ia sudah tidak sabar menunggu kabar baik dari putrinya.
"Ayah," panggil Prillyza lirih. "Dia, dia memang berbeda."
Malik memberikan Prillyza ruang untuk mengungkapkan apa yang hendak dikatakannya. "Dia lelaki baik Yah, bukan berarti Haidar tidak baik. Hanya saja, jika hati Prillyza memilih Dokter Arzali apakah itu berarti Prillyza menyakiti Haidar?"
"Nak, perihal hati. Tuhan adalah yang maha membolak-balikkannya. Jika hatimu tergerak dan jatuh pada dokter itu, itu berarti Tuhan telah menggariskan demikian. Ayah tahu, Haidar memang lebih dulu datang dan menunjukkan keseriusannya. Namun dia tidak berhasil membujuk Tuhan untuk mengetuk hatimu. Menurut Ayah, kamu tidak menyakiti siapa pun. Sejak awal juga kamu sudah menolaknya dengan baik bukan?" tuturnya panjang lebar.
"Apa Prillyza harus minta maaf pada Haidar Ayah? Jujur Prillyza merasa telah menyakitinya tapi Prillyza memang tidak bisa memaksakan perasaan Prillyza."
Prillyza menatap ayahnya dalam. "Haidar laki-laki baik, Yah. Dia pantas mendapatkan perempuan yang bisa mencintai dia dengan tulus."
Malik mengangguk setuju. "Kalau kamu mantap dengan pilihanmu dan yakin bahwa Arzali yang terbaik. Ayah akan mendukung, Nak. Dan soal Haidar, Ayah akan menyampaikan maafmu pada dia." Malik menggenggam tangan Prillyza.
Dimainkan jemari Prillyza yang nampak lentik. Dulu Malik senang sekali menjahili Prillyza dengan menggigit pelan jemari kecilnya. Sebab saat kecil Prillyza sangat gembul dan menggemaskan.
"Apa ayah setuju?" tanya Prillyza tiba-tiba.
Malik menatap lekat wajah Prillyza. "Apakah ada seorang ayah yang tidak akan setuju bila putrinya meminta restu untuk bahagia?" katanya lembut. Tanganya mengelus kepala Prillyza yang tertutup hijab instan.
"Kalau kamu sudah memilih, tentu Ayah akan mendukung. Yang bisa Ayah lakukan hanya memberikan doa agar apa yang kamu putuskan adalah yang terbaik bagimu. "
"Anak ayah adalah perempuan yang baik. Ayah ingin kamu mendapat yang terbaik. Nak, bukan perihal bagaimana sempurnanya lelaki yang akan menjadi pasanganmu kelak. Tapi bagaiman caranya dia bisa memperlakukanmu dengan baik, menjagamu dengan baik dan menghargaimu dengan baik. Lelaki yang mendapatkan putri ayah, haruslah lelaki yang tulus, berbudi luhur dan tentunya sangat mencintaimu. Kalau bisa lebih besar dari cinta Ayah padamu." Prillyza berhambur ke pelukan Malik. Ia begitu merasa dicintai oleh ayahnya.
"Doakan Prillyza Ayah. Semoga pilihan Prillyza tidak salah. Prillyza meyakini kalau Arzali adalah lelaki yang baik. Yah, melihat tulusnya dia menolong orang asing, kedermawanannya juga tiap kebaikannya yang tanpa pamrih. Dengan orang asing saja dia sebaik itu. Apalagi dengan orang-orang yang dihasihinya? Melihat bagaimana caranya memperlakukan adiknya seperti Ayah yang sangat menjaga putri kecilnya. Setip hal sederhana yang dia lakukan selalu berhasil menarik perhatian Prillyza, Ayah. Ini untuk pertama kalinya Prillyza merasakan kekaguman yang begitu besar. Bahkan beberapa waktu tanpa kabarnya saja rasanya berbeda."
Malik menyernyit bingung, beberpa hari tanpanya? Hampa?
"Jadi? Yang membuat putri ayah murung selama dua mingguan adalah lelaki itu, hem? Berani sekali dia."
"Bukan salahnya, Yah, dia sudah bilang pada Prillyza untuk bersabar tapi Prillyza saja yang tidak sabar menunggunya. Jadi, ya bukan sepenuhnya salah Arzali. Salahnya hanya tidak memberi kabar."
"Jadi? Kapan pastinya dia ke mari?" Prillyza tersipu semakin dalam menenggelamkan wajahnya di dada sang ayah. Tawa keras Malik pun meledak ke seluruh penjuru ruangan.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzali
RomanceMelupakan menjadi sesuatu yang hampir mustahil bagi setiap manusia. Begitu pun bagi seorang Arzali. Dokter berusia hampir kepala tiga yang belum bisa melupakan kenangan buruk yang terus menghantui dirinya. Baginya, wanita dan cinta adalah dua hal ya...