Pembicaraan Serius

89 15 0
                                    

Bersama hati yang berdesir tiap pertemuan kita, pada tiap itu pula benak saya bertanya. Kamukah orangnya?

Prillyza Anindya

Prillyza berdiri ragu di depan ruang kerja Malik. Bukannya mengetuk pintu atau mengucap salam, gadis itu justru sibuk menggigit ujung jari telunjuknya sembari menimbang dalam pikirannya apakah ia akan masuk dan bicara pada ayahnya atau pergi saja dan membiarkan dirinya memikirkan semua hal rumit itu sendiri.

Awalnya Prillyza merasa tidak bisa nyenyak dalam tidurnya hingga ia yang awalnya tidur pukul sembilan malam Terbangun di jam satu dini hari. Ketika hendak pergi untuk mengambil minum karena merasa haus ia melihat lampu ruang kerja sang ayah yang masih menyala. Itu berarti Malik tengah lembur.

Jujur, perkataan Arzali perihal perasaan berhasil mengusik ketenangan hati kecil Prillyza. Sebelumnya gadis itu tidak pernah terlalu memusingkan persoalan perasaan, cinta, pernikahan dan soal pasangan. Menurutnya seseorang yang memang ditakdirkan untuknya akan datang diwaktu yang tepat. Prillyza tidak pernah berpikir untuk menikah cepat pun tidak akan menunda bila jodohnya datang nanti.

Bila Haidar yang telah mengutarakan niat baiknya saja tidak bisa membuatnya merasa terketuk lalu bagaimana bisa Arzali yang hanya mengungkapkan soal perasaan mampu mengusik Prillyza sedalam ini?

"Masuk tidak, ya? Ayah terganggu tidak, ya?" gumam Prillyza. Kedua tangannya bertaut satu sama lain kedua kakinya tidak berhenti membawa tubuh rampingnya ke kanan ke kiri seperti setrika pakaian.

Beberapa menit kemudian Prillyza menemukan jawabannya.

Tangan kanannya mengetuk beberapa kali kayu jati bercat cokelat di depannya. Sekali belum ada sahutan, Prillyza mengetuk lagi sembari memanggil ayahnya dan pria paruh baya di balik dinding itu merespon. Mempersilakan putri sulungnya untuk masuk.

Begitu pintu terbuka, kedua mata Prillyza langsung disuguhkan pemandangan ayahnya yang tengah berkutat dengan komputer mengenakan kacamata minusnya. Beberapa lembar kertas berisi gambar arsitektur bangunan sebuah masjid yang tengah digarap sang ayah. Prillyza mendudukkan diri di kursi berseberangan dengan tempat duduk Malik.

Senyum Malik mengembang sempurna, meski jelas terlihat wajah keriputnya sebab usia menampakkan lelah yang tidak terelakkan. Namun ia tetap menyambut putrinya dengan baik.

"Terbangun?" tanyanya melihat putrinya yang hanya diam dengan netra yang terus mengikuti tiap gerakannya.

"Ayah belum selesai?" tanya Prillyza balik alih-alih menjawab apa yang ditanyakan ayahnya. Malik melepas kacamata yang bertengger di hidungnya, ditekannya pangkal hidung untuk memberikan rileksasi pada matanya yang terasa pegal sebab berjam-jam menatap monitor.

"Ayah sedang menyelesaikan pekerjaan yang tertunda." Prillyza merespon dengan anggukan.

"Belum tidur atau terbangun?" Sekali lagi Malik bertanya.

"Terbangun," balas Prillyza dengan suara berbisik nyaris tidak terdengar.

Sebagai seorang ayah yang telah puluhan tahun membersamai putrinya, Malik tentu tahu bahwa putrinya tengah berada pada masa diliputi keresahan. Nampak jelas di wajahnya bahkan meski Prillyza tidak mengatakan apa pun.

"Kamu bisa bicara pada Ayah, ada sesuatu yang mengganggumu?" Prillyza mengangguk tanpa ragu. Bukankah lebih baik jika ia bicara atau berbagi sesuatu yang ia rasakan? Toh ini ayahnya sendiri.

Prillyza mengambil salah satu kertas desain yang ada di meja kerja Malik. Berpura-pura seolah sibuk mengamati tiap detailnya, padahal ia melakukan itu untuk mengulur waktu karena kepalanya tengah sibuk menyusun tiap kata agar nanti ia tidak gugup menyampaikan semua pada ayahnya.

"Ayah," panggil Prillyza.

"Prillyza, sebenarnya." Prillyza menatap Malik, membaca raut wajah ayahnya yang masih dalam posisi diam dan memperhatikannya, menunggu apa yang hendak ia sampaikan.

"Bagaimana Ayah ketika jatuh cinta pada Bunda?" Akhirnya pertanyaan itu yang dipilih Prillyza.

Malik tertawa, ia merasa lucu karena pertanyaan putrinya.

"Kamu hanya mau tanya itu? Bukankah dulu Ayah pernah cerita? Kami dekat sejak SMA, terbiasa bersama dan saling suka membuat kami memutuskan menikah. Itu saja tidak terlalu menarik."

"Ayah, Prillyza boleh menyampaikan sesuatu? Tapi Ayah tidak boleh tertawa!"

Malik tertawa mendengar peringatan anak sulungnya. Gadis yang selalu dianggapnya sebagai putri kecilnya itu selalu menggemaskan dalam menunjukkan raut wajah apa pun.

"Ayah sudah menunggu hampir setengah jam hanya untuk mendengar kamu bicara." Prillyza nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Sebenarnya beberapa minggu ini Prillyza merasa tidak nyaman dengan suatu hal."

"Haidar?" Malik menebak.

"Iya, itu salah satunya. Tapi ada hal lain juga." Malik kini fokus menyimak cerita Prillyza. Tidak ia alihkan sedetik pun pandangannya mengamati ekspresi wajah Prillyza saat bicara. Prillyza benar-benar menunjukkan ketidak nyamanannya.

"Sejak kejadian Dafa kecelakaan dulu, Dokter Arzali sering kali bicara padaku tentang hal-hal rumit. Kata-katanya selalu membuatku bingung, Yah. Dia bicara soal menyukai tapi seolah dia juga ragu dan itu membuat Prillyza jadi bingung."

Malik mengangguk mengerti. Senyum kecil terbit di bibirnya dengan tatapan mata yang menatap Prillyza penuh arti. Ia tahu benar siapa putrinya.

"Kenapa tidak menolaknya langsung?" tanya Malik memancing.

"Aku tidak tahu caranya. Jadi aku hanya menghindar sebisaku."

"Dengan Haidar kamu tidak begitu, kamu tidak ragu menyampaikan penolakanmu."

Bum! Prillyza membeku. Yang dikatakan Malik memang benar. Prillyza merasa berbeda ketika bicara pada Arzali. Ada sesuatu dalam diri lelaki dewasa itu yang membuat Prillyza merasa sungkan untuk menyampaikan penolakan-penolakannya secara gamblang. Padahal dengan Haidar saja, ia bisa mengutarakan penolakan dan alasannya bahkan tanpa merasa bimbang sampai berhari-hari begini.

"Apakah itu berarti, Dokter Arzali membuat Prillyza jatuh hati Ayah?"

"Ayah tidak tahu."

Prillyza memberengut sebal mendengar jawaban ayahnya.

"Kalau dia mengutarakan niat baik, kamu bisa memberinya kesempatan yang baik pula," saran Malik.

"Jujur, Prillyza bimbang dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba. Rasanya roda hidup berputar terlalu cepat, Yah. Baru kemarin rasanya Prillyza merasa begitu damai, menjalani semua dengan hal biasa dan tiba-tiba semua hal diluar pemikiran Prillyza datang."

"Prillyza, kalau ada ragu di hatimu coba tanya pada penciptamu," saran Malik. Tangan kanannya menggapai tangan kiri Prillyza dan digenggamnya.

Ia ingat benar bagaimana dulu untuk pertama kalinya ia menuntun tangan mungil Prillyza untuk berjalan selangkah demi selangkah. Sekarang putri yang dulu ia ajari berjalan kini telah dewasa dan mulai menimbang sesuatu di tiap langkah yang hendak diambilnya.

"Prillyza takut Ayah," jujurnya.

"Takut kenapa?"

"Kalau jawaban yang Prillyza dapat dari Allah, bukan sesuatu yang Prillyza harapkan." Malik tersenyum hangat.

"Percaya, pada Allah, Nak. Allah tahu yang terbaik bagi hambanya."

"Ayah kalau salah satu di antara mereka adalah yang Allah kirimkan untuk Prillyza. Apakah itu berarti Prillyza harus memantaskan diri untuk menjadi pasangannya?"

"Tentu, Kalau memang hal baik itu menghampiri jangan kamu tolak atau kamu hindari. Allah yang menggariskan perihal jodoh Nak."

Hati Prillyza menghangat mendengar nasihat ayahnya. Meski semua tidak selesai semudah itu, tapi setidaknya Prillyza sudah tahu bagaimana ia harus mengambil tindakan. Ayahnya benar, tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang mungkin memang telah Allah gariskan untuk menjadi bagian dari goresan takdirnya.

*

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang