Memperjuangkan Cinta

96 17 1
                                    

Maaf membuatmu menunggu terlalu lama. Aku tengah berusaha meyakinkan diriku untuk bisa meyakinkanmu pula.

Arzali Bimantara

Tepat pada hari minggu, di minggu ketiga Arzali tidak menghubungi Prillyza. Lelaki itu tengah dalam perjalanan untuk mendatangi rumah gadis yang dirindukannya.

Rindu? Ya, sepertinya itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakannya akan sosok Prillyza. Tiga minggu tanpa gadis itu membuat waktu seolah berputar sangat lambat.

Arzali mengembangkan senyum sepanjang perjalanan, sampai mobil Civic-nya memasuki pekarangan rumah keluarga Prillyza. Menghela napas pelan dan merapikan penampilannya sebelum turun.

"Bismillah, kata Bunda libatkan Allah dalam setiap langkah baikmu."

Usai mengatakan itu, dengan mantap dibukanya pintu mobil, dilangkahkan kedua kakinya menuju pintu jati berukuran dua meter.

Sejenak, berdiri di sana tanpa melakukan apa pun. Hanya menatap pintu dengan jantung terpacu cepat. Membayangkan bagaimana reaksi Prillyza melihat dirinya yang tiba-tiba ada di rumahnya tanpa sebuah pemberitahuan.

Arzali mengangkat tangannya, mengetuk pintu beberapa kali sembari mengucap salam. Hinga diketukan yang ketiga, pintu itu terbuka. Terlihat gadis remaja yang menatap Arzali dengan senyum mengembang. Dia Husna, si bungsu yang awalnya misuh-misuh karena posisi asyiknya yang tengah bermain ponsel diganggu karena dipaksa untuk membukakan pintu oleh Prillyza.

Siang ini, memang hanya mereka yang berada di rumah. Ayah mereka belum pulang sementara Zarif tengah mengantar sang bunda ke arisan.

"Eh, Dokter Arzali. Mau cari Kak Zaza?" tanyanya dengan gaya menggoda andalannya.

Arzali nampak kikuk mendengarnya. Ia menampilkan senyum bodoh yang nampak menawan di mata remaja itu.

"Hihi, enggak usah malu. Kak Zazanya lagi makan di dalam. Mau masuk?" tawar Husna membuka pintu lebih lebar. Melihat keadaan rumah yang sepi dan hanya ada dua anak gadis, Arzali menggelengkan kepalanya.

"Saya menunggu di luar saja. Tolong panggilkan Prillyza. Boleh?" Husna terkekeh sendiri mendengar cara bicara Arzali. Formal dan penuh hati-hati.

"Tentu, tunggu sebentar, ya. Kalau lama berarti Kak Zazanya dandan dulu." Usai berkata demikian, Husna kembali masuk tanpa menutup pintu. Arzali dibuat geleng kepala dengan tingkah ajaib gadis remaja itu, ya sebelas dua belas dengan tingkah adik bungsunya, Rania.

Beberapa menit kemudian, sosok Prillyza muncul membawa bungkusan. Kening Arzali menyernyit bingung.

Keduanya saling memandang beberapa saat sebelum Prillyza mengalihkan pandangan. Raut wajahnya yang semula nampak ramah berubah garang. Kedua netra hazelnya menatap Arzali tajam.

Sekaligus dalam hati mengumpati Husna, adiknya itu mengatakan kalau ada peminta sumbangan, jadilah Prillyza mengambil beberapa bahan pokok seperti beras dan gula ke dalam kantung plastik yang dibawanya.

"Kenapa?" tanya Arzali, menangkap gelagat berbeda dari Prillyza. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

Ia melewati Arzali begitu saja dan duduk di bangku yang memang disediakan di teras rumah. Arzali dibuat gemas dengan tingkah Prillyza yang seperti gadis remaja tengah merajuk pada pasangannya.

"Marah? Saya ada salah?" tanya Arzali mendudukkan diri di sebelah Prillyza tanpa menunggu dipersilakan.

"Iyalah salah, pakai nanya lagi!" Tentu kalimat itu hanya diucapkan dalam hati. Mana mungkin Prillyza berani berkata demikian kepada Arzali.

Diamnya Prillyza menjadi jawaban tersendiri bagi Arzali. Ia peka kalau Prillyza memang marah.

"Maafkan saya, Prillyza."

"Kenapa minta maaf?" balas Prillyza ketus.

"Saya tahu kamu marah. Mungkin perbuatan saya memang kurang baik. Kamu pasti berpikir kalau saya lari dan meninggalkan kamu begitu saja."

"Saya tidak berpikir begitu."

Arzali menganggukkan kepalanya. Paham kalau suasana hati gadis di sebelahnya memang tengah tidak baik.

"Saya..."

"Kalau memang masih ragu, sebaiknya jangan memaksakan diri." Arzali menggeleng mendengar ucapan itu. Prillyza mengatakannya tanpa menatap Arzali.

"Kamu pergi begitu saja, setelah itu datang tiba-tiba. Apakah itu sikap yang dewasa Dokter Arzali?" tanya Prillyza tajam.

Arzali menghela napas. Sudah ia duga bahwa sambutan Prillyza mungkin akan demikian.

Ia mewajarkan bagaimana sikap Prillyza padanya, karena ia memang pantas mendapatkannya. Siapa yang tidak marah? Bila setelah diberi harapan tiba-tiba si pemberi justru pergi tanpa kabar.

"Saya benar-benar minta maaf. Saya mengaku salah dan sikap yang saya ambil tidak bisa dibenarkan. Tapi Prillyza, saya sedang berjuang untuk kamu. Meski kamu tidak bisa melihatnya secara langsung."

Prillyza diam, menatap lekat wajah Arzali yang menenangkan. Jantungnya berdetak cepat, menunjukkan betapa kehadiran seorang Arzali memiliki pengaruh besar pada dirinya.

"Saya pergi ke kota kelahiran saya," lanjut Arzali. Dibalasnya tatapan Prillyza sama lekatnya. Dalam, seolah ia tengah bicara dari hati ke hati dengan gadis yang mengisi relung hatinya beberapa bulan terakhir.

Jantung keduanya berdetak sama kencangnya, perlahan senyum tergambar di wajah Arzali. Melihat tatapan Prillyza yang perlahan melembut.

"Kalau boleh jujur, saya sempat marah dengan tindakanmu. Kenapa pergi tiba-tiba?"

"Saya hanya butuh waktu dan ruang untuk menyelesaikan permasalahan. Mungkin sekarang, bisa saya katakan kalau saya merasa berhasil lepas dari ikatan menyakitkan itu. Terima kasih."

Prillyza menunduk malu, melihat intens dan dalamnya tatapan Arzali padanya benar-benar berhasil menciptakan gelennyar aneh di sekujur tubuhnya. Suasana hatinya yang sebelumnya panas penuh kemarahan luruh begitu saja. Rasanya benar-benar lega ketika bisa melihat Arzali kembali dengan keadaan baik-baik saja. Bahkan rasanya jauh lebih baik dari sebelumnnya.

"Seperti janji saya, Prillyza. Bersedialah menunggu dan saya akan perjuangkan kamu. Saya kembali untuk menepati itu. Jadi bolehkan sekarang saya memperjuangkan kamu? Dengan semua kekurangan yang saya miliki."

Arzali berhasil mengatur dirinya sendiri agar tidak gugup selama mengutarakan kalimat panjang itu. Kedua tangannya saling menggenggam di atas paha.

Prillyza mengangkat kepala, menatap Arzali dengan tatapan tidak percaya. Apakah ini artinya lelaki itu memantapkan diri untuk memilihnya?

"Maksudnya?" tanya Prillyza seperti orang bodoh.

"Bukankah kita sudah sepakat?"

"Saya tidak mengerti," akunya.

Arzali menghela napas, wanita memang suka hal rumit, apakah ia harus mengutarakan semuanya secara gamblang?

Sekali lagi ia mengatakan, "Saya mengatakan bahwa saya sudah siap memperjuangkan kamu, jadi apakah kamu siap untuk saya perjuangkan?"

Prillyza tersipu malu. Ia hanya mengangguk karena tidak tahu harus merespon bagaimana. Ratusan kupu-kupu seolah terbang menggelitik sekujur tubuhnya dengan jantung yang terpacu sangat cepat. Pasokan oksigen juga begitu menyegarkan tiap celah porinya.

Arzali tersenyum hangat, "Saya akan membuktikan keseriusan saya. Mana mungkin saya biarkan bidadari yang menyelamatkan hidup saja pergi dan menjadi milik orang lain." Prillyza makin tenggelam dalam rasa yang sulit dijelaskan. Bahagia, terharu juga rasa lega yang bersamaan menyelimutinya.

"Saya percaya, Kamu tidak akan menyakiti saya. Jadi tolong, jangan sampai kita sama-sama menyesali keputusan ini. Mari berjuang bersama Prillyza." Tangan kanan Arzali menggenggam tangan kiri Prillyza.

Prillyza menatap wajah Arzali, kedua mata lelaki itu menyorotnya dalam. Senyum manisnya mengambang bersamaan dengan kata yang terucap.

"Kalau kamu siap berarti aku juga harus siap. Mari sama-sama belajar tentang apa itu cinta."

**

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang