Perihal hati aku tidak tahu kepada siapa rasa akan menghampiri atau justru ia telah mendapat tempat yang hendak ia tinggali sesab di atas semua peduli masih ada ragu menyelimuti.
Arzali Bimantara
Senin pagi yang cukup santai bagi seorang Arzali Bimantara, sesab hari ini ia akan berangkat siang ke rumah sakit. Seperti bulan-bulan sebelumnya bahwa pada minggu ketiga dia akan mendapat bagian sift siang hingga malam. Pagi ini, seluruh anggota keluarga telah sibuk dengan rutinitas masing-masing. Ayah dan Raka pergi ke kantor mengurus pekerjaan, Fian sibuk menemui dosen untuk bimbingan skripsi sementara si bungsu Rania ke sekolah untuk menuntut ilmu.
Arzali nampak merenung di atas meja makan, sepiring nasi goreng buatan Hifza yang menjadi menu sarapan favoritnya sepertinya gagal mengalihkan keinginannya atas Prillyza. Gadis itu telah berhasil mengusik ketenangan dalam diri seorang Arzali selama ini.
Bagaimana bisa seorang yang ditemuinya dalam hitungan jari, dalam beberapa waktu berturut-turut berhasil memporak-porandakan tembok tinggi yang menyembunyikan sunyi dalam diri Arzali.
Gadis bernetra coklat madu itu telah berhasil mengganggu tidur nyenyaknya. "Kenapa saya seperti ini Prillyza? Sihir apa yang ada dalam dirimu?" gumamnya, sendok di genggamannya tanpa sadar jatuh di atas piring menimbulkan bunyi nyaring yang mengundang perhatian Hifza.
Sebenarnya wanita paruh baya itu telah sedari tadi memperhatikan gerak-gerik putranya, hanya saja ia memilih membiarkan ruang pada Arzali dan berpura-pura menyibukkan diri dengan berbagai buah yang tengah dikupasnya. Pagi ini sesuai pesanan si bungsu Rania, Hifza hendak membuat puding buah.
"Nasinya tidak enak Arzali?" tanya Hifza, meletakkan pisau buah ke atas meja dan fokus pada Arzali yang nampak terkejut mendengar suaranya.
"Bunda di situ?" Hifza mengangguk, dilihatnya Arzali menggaruk leher bagian belakang tanda bahwa putra sulungnya itu tengah gugup.
"Ada suatu yang menganggumu? Sampai-sampai kamu tidak sadar kalau sejak kamu datang untuk sarapan tadi bunda sudah di sini," kata Hifza, mengabaikan cengiran Arzali yang baginya hanya pengalihan isu.
"Em, ya ada sesuatu tapi tidak terlalu penting," kilah Arzali, kembali menyendok nasi ke mulutnya dan mengunyahnya pelan tanpa berselera.
"Tidak biasanya, persoalan pekerjaan tidak pernah menganggumu sampai membuatmu tidak menikmati masakanku. Aku ini ibumu bukan temanmu."
Arzali hanya diam mendengar perkataan Hifza yang tepat sasaran. Ia memang tidak pernah terganggu dengan hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Selain itu tidak ada hal besar yang pernah membuatnya merasa tidak selera menikmati masakan ibunda tercintanya itu.
"Apa ini ada hubungannya dengan gadis yang diceritakan Rania, Li?" Berhasil, Hifza menahan tawa ketika ekor matanya menangkap gelagat menggemaskan dari Arzali. Lelaki itu nampak segera meraih segelas air untuk diteguknya. Tenggorokannya terasa kering kerontang seperti sungai tanpa mata air.
"Rania hanya bicara ngasal, Bunda. Tidak ada hubungannya denganku." Arzali menjawab usai berhasil mengendalikan diri dari kegugupannya. Mendengar putranya yang masih tidak mau mengaku juga, Rania menghela napas panjang. Ia bangkit dan berpindah posisi duduk di samping kiri Arzali.
"Bunda bukan orang lain Arzali, Bunda ini yang membesarkanmu belasan tahun. Apa kamu kira Bunda akan percaya kalau kau sedang baik-baik saja? Kalau ada hal yang menganggumu kamu bisa berbagi semua dengan Bunda." Diraihnya tangan kiri Arzali dan digenggam.
Melihat wajah khawatir ibunya Arzali merasa tidak enak. Dibalasnya genggaman tangan Hifza kemudian ia mulai berkata, "Sebenarnya, memang ada sesuatu Bun. Tapi aku tidak tahu bagimana cara menjelasnya. Kami hanya dua manusia yang bertemu tanpa sengaja, di mana dia menolong muridnya dan aku menolongya. Tapi entah kenapa, pertemuan-pertemuan berikutnya antara aku dan gadis itu kembali terjadi dan aku..." Arzali terdiam, membisu seolah kehabisan kata untuk dirangkai sebagai bentuk penyampaikan perihal Prillyza kepada ibunya.
"Jadi, ada sesuatu tentang gadis itu yang menganggumu? Apa menurutmu dia berbeda?" Senyum menghiasi wajah keriput yang masih ayu milik Hifza.
Sebenarnya dengan menebak raut wajah putranya saja ia bisa tahu semuanya, tetapi rasanya tidak akan seru. Alangkah lebih menyenangkan bila Arzali langsung yang mengakui bahwa saat ini hatinya tidak lagi beku dan siap menerima seseorang untuk mengisi hatinya yang lama tidak berpenghuni.
"Dia, namanya Prillyza, Bunda. Dia baik dan terlihat berbeda. Tapi aku juga ragu terutama pada diriku sendiri. Bun, bagaimana menurut Bunda?"
"Kalau menurut Bunda, kamu dekati saja dia. Kenal dia lebih jauh dan kalau memang berjodoh, Bunda akan senang hati melamarkannya segera untukmu." Sayangnya ucapan penuh antusias dari bibir Hifza ditanggapi dengan helaan napas berat seorang Arzali.
Tidak menyangka bahwa sepatah kata yang diucapkannya pada Hifza membuat wanita yang membesarkannya itu berpikir sampai kejenjang itu.
"Arzali saja tidak berpikir sejauh itu, Bun."
"Justru karena Bunda tahu, kamu belum tentu berikir sejauh itu, makanya Bunda berisisatif mengarahkan kamu ke sana."
"Apa perkataan Bunda benar?" tanya Arzali tiba-tiba.
"Perkataan yang mana? Yang Bunda mau lamarkan dia?" Arzali menggeleng.
"Lalu?"
"Bahwa cinta bisa hadir hanya dalam tiga pertemuan." Mendengar penuturan polos Arzali Hifza tertawa keras. Tangannya sampai berayun menepuk meja beberapa kali menimbulkan bunyi yang seolah mengiringi tawanya.
"Maaf, Bunda sebelumnya mengatakan itu karena terinspirasi dari novel yang Bunda baca. Tapi kalau kamu percaya mungkin ada benarnya."
Masih dalam kondisi mencoba sekuat mungkin menahan tawa. Hifza mencoba mengubah raut wajahnya seserius mungkin. Ditatapnya lekat wajah tampan Arzali dari samping yang membuatnya kembali mengingat sosok ayah kandung lelaki itu. Keduanya bagai pinang dibelah dua, benar-benar mirip.
"Bunda serius perihal jodohmu Li, sudah waktunya kamu bangkit dari keterpurukan masa lalu. Kalau memang gadis itu berhasil membuatmu ragu, kenapa tidak kamu coba terlebih dahulu? Seperti biasa, pesan Bunda masih sama, libatkan Tuhan dalam setiap lengkah dan keputusan yang hendak kamu ambil. Agar kamu mendapat ridho-Nya. "
Ditepuknya punggung tangan Arzali lembut, digenggamnya menyalurkan kasih seorang ibu, dalam hati Hifza paham benar bagaimana trauma menyelimuti seorang Arzali. Namun, ia juga ingin suatu hari nanti Arzali-nya bisa sambuh dari luka itu dan menjalani hidup dengan bahagia yang sesungguhnya.
Bukankah setiap ibu selalu menginginkan agar anak-anaknya kelak akan membangun istana kebahagian mereka sendiri?
"Apa menurut Bunda, baik apabila aku punya keinginan jatuh cinta?" Tanpa ragu dan tanpa berpikir dua kali Hifza mengangguk mantap.
"Setiap mamusia berhak jatuh cinta dan berjuang untuk orang yang dicintainya, Nak. Kalau kamu ada keraguan, kamu bisa cerita ke Bunda, Ayah atau siapa pun yang membuatmu merasa percaya."
"Apakah gadis sesempurna itu bisa menerima seseorang seperti Arzali, Bun?"
"Pertanyaanmu aneh, justru Bunda yang harusnya bertanya. Apakah ada wanita yang bisa menolak kesempurnaanmu?" Arzali menggeleng tidak setuju dengan perkataan Hifza. "Aku bukan orang sempurna, Bun," bantahnya.
"Ya, itu menurutmu, tapi banyak orang yang beranggapan bahwa kamu terbaik Arzali. Jadi Bunda harap jangan pernah menganggap dirimu tidak layak untuk siapa pun karena bagi Bunda kamu tetaplah manusia biasa yang berhak mendapatkan kesempatan. " Arzali tersenyum mendengar tuturan menenangkan Hifza.
"Jadi benar namanya Prillyza?" Dan wajah tegasnya seketika memerah mendengar nama si gadis disebut dengan nada menggoda.
*
INI UNTUK HARI INI
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DENGAN VOTE DAN KOMENADUH SEMANGAT BARSHA AGAK MENURUN MELIBAT KOMEN YANG 00000
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzali
RomantizmMelupakan menjadi sesuatu yang hampir mustahil bagi setiap manusia. Begitu pun bagi seorang Arzali. Dokter berusia hampir kepala tiga yang belum bisa melupakan kenangan buruk yang terus menghantui dirinya. Baginya, wanita dan cinta adalah dua hal ya...