Renungan Hati

85 14 1
                                    

Memilihmu adalah sebuah keputusan terbesar yang pernah kuambil dalam hidup dan menjadikanmu rumah adalah sesuatu yang tidak akan pernah kusesali.

Arzali Bimantara

"Assalamualaikum," salamnya memasuki rumah, ia baru kembali pada pukul sembilan malam karena harus membantu korban kecelakaan sebuah bus pariwisata yang menabrak truk bermuatan batu bara.

"Waalaikumsalam, Abang Arzali!" Rania langsung berlari hendak memeluk abangnya, tapi Arzali menghindar sebab kondisinya sedang tidak pas. Tubuhnya bau obat-obatan juga pastinya berkeringat.

Melihat sang kakak yang menghindarinya Rania cemberut. "Abang nggak sayang Rania lagi!" marahnya nampak menggemaskan.

"Nanti, ya. Abang mau mandi dulu, kotor ini, nanti kasihan Rania yang cantik."

"Baru pulang Nak?" Suara lembut Hifza menyapanya, bundanya datang dengan segelas air putih yang langsung diberikan pada Arzali, Arzali dengan senang hati menerimanya dan meneguknya hingga tandas karena ia memang tengah sangat haus.

"HEH! PELANGGARAN!" teriakan sebuah suara. Itu Raka, yang datang dari arah ruang keluarga. "Bunda ambilin buat gue Bang, malah lo yang minum," sungutnya. Hifza hanya geleng kepala melihat tingkah putranya itu.

"Gatau," balas Arzali cuek kemudian pamit pada dua perempuan spesialnya untuk membersikan diri.

"Buset kagak pamit sama gue Bang!"

"Gak penting!" Raka mengelus dadanya sendiri, abangnya memang suka pilih kasih.

Melihat abangnya ternistakan Rania tertawa puas sambil menjulurkan lidahnya kemudian lari menyusul Arzali karena Raka hendak menangkapnya. Hifza kembali menggelengkan kepalanya dengan kelakuan dua bersaudara itu. Sehari tanpa ribut sepertinya akan membuat hidup mereka terasa hampa.

"Ada apa?" tanya Fazwan mendengar teriakan Rania juga Raka.

"Biasa anak kamu," kata Hifza.

"Anak kita, Sayang," balas Fazwan menggoda, dihadiahi cubitan kecil di lengannya yang membuat lelaki paruh baya itu mengaduh.

Selesai dengan ritual mandinya, Arzali keluar dengan tubuh yang terbalut pakaian rumahan, celana kain selutut dengan kaos hitam polos berukuran oversize yang membungkus tubuh kekarnya.

"Astaghfirullah," gumamnya mengelus dada, melihat kasurnya yang tadi rapi kini berantakan, bantal, guling serta selimutnya sudah teronggok tidak berdaya dilantai sementara spreinya kusut.

Arzali menghela napas dan merapikan semuanya, tadi saat mandi ia memang sempat mendengar suara teriakan kedua adiknya Rania dan Raka. Rania yang memohon ampun karena Raka menggelitiknya dan Raka yang terus berkata tidak akan berhenti sebelum Rania menangis.

Usai kamarnya kembali seperti semula, Arzali keluar untuk mengisi perut, masakan bundanya terbayang di kepalanya, pasti sangat lezat, apalagi dalam kondisi tubuh baru sembuh dari sakit, nafsu makannya naik drastis.

"Makan, Bang." Arzali terlonjak dengan suara bariton di belakangnya, dilihatnya Fian tengah asik menikmati sepiring nasi dengan udang asam manis serta sayur sawi.

"Baru pulang juga?" tanyanya.

"Yoi, keburu laper, mandinya nanti aja, aku kan bukan Bang Arzali yang mainnya sama orang sakit," katanya sombong.

Arzali hanya diam memilih tidak menanggapi, ia segera mendudukkan diri dan mengambil nasi ke piringnya beserta lauk yang sama persis seperti yang Fian makan.

"Gimana liburannya, seru?" tanya Fian.

"Kamu yang liburan, bukan Abang." Fian nyengir kuda, pemuda itu memang baru kembali setelah semingguan berlibur ke Pulau Dewata, Bali. Katanya healing bersama teman-temannya sekalian mendinginkan otak yang kepanasan karena tugas akhir.

"Ya, siapa tahu, kan di sana Abang liburan sekalian cari pacar." Arzali tersedak mendengar penuturan adik keduanya itu. Segera diteguknya segelas air putih hingga habis setengahnya. Si pelaku bukannya merasa bersalah malah asik tertawa.

"Pelan-pelan Bang, salting boleh bundir jangan, kan nggak lucu kalau ada berita dokter muda meninggoy karena tersedak," candanya. "Aduh aduh!"

"Ngomong apa kamu, hem?" Hifza datang memberikan jeweran ke telinga kanan putranya.

"Ampun, Bunda, ampun sakit."

"Makanya kalau ngomong hati-hati jangan asal kaya gitu. Kamu ini kebiasaan mau bunda tampol bibirnya pakai sandal gunung hem?" omel Hifza tak ayal melepaskan jewerannya, nampak telinga Fian memerah.

"Tega bener sama anak sih Bun, kalau telinga putus mau diganti pakai apa coba."

"Telinga gajah!" pekik Rania dan Raka bersamaan. Keduanya terkikik melihat wajah melas Fian yang kena omel.

Rania segera memposisikan diri, duduk disebelah abang kesayangannya, gelendotan manja. Kangen katanya dua minggu ditinggal. Arzali membiarkan lengan kirinya digandeng oleh Rania sementara tangan kananya ia gunakan untuk makan.

"Manja bener, tapi gak papa, puas-puasin deh manjanya soalnya bentar lagi Bang Arzali mau nikah," seloroh Raka.

"Emang iya?" tanya Fian nimbrung, ia sudah selesai dengan makannya.

"Sama siapa?" timpal Rania.

"Sama janda komplek mawar," celetuk Raka asal.

"Enak aja, anak Bunda harus dapat perempuan yang cantik, baik dan solehah."

"Iya, kaya istri ayah ini." Fazwan datang dan turut nimbrung, jadilah semua anggota keluarga berkumpul di uang makan. Mereka saling melempar candaan hingga pukul sebelas malam. Satu persatu anak pasangan suami istri itu masuk ke kamar masing-masing, menyisakan Fazwan, Hifza juga Arzali si sulung.

Lelaki itu belum merasa mengantuk sekalian ingin bicara pada kedua orang tuanya. Ia tidak mungkin mengambil keputusan besar sendirian, tentu ia harus meminta saran dan nasihat dari kedua orang yang telah berjasa membesarkannya.

"Mau bicara?" Fazwan membuka suara. Arzali mengangguk mengiyakan, dilihatnya Hifza duduk di sebelah Fazwan.

"Aku mulai bisa menerima semuanya Yah, Bun," kata Arzali melukis senyum indah di wajah kedua paruh baya itu. "Sekarang Arzali akan mecoba membuka lembar baru, kalau Ayah dan Bunda setuju."

"Sangat setuju, jadi mau kapan?" Hifza sangat antusias. Bahkan sekarang ia lebih terlihat seperti Rania yang ditawari hadiah.

Arzali menatap lekat bundanya. Wanita itulah yang dengan sabar mengurusnya dan membawanya bangkit dari trauma dulu, bahkan sampai sering mengabaikan anak kandungnya sendiri dan mengurus Arzali yang dirawat di rumah sakit.

"Doakan yang terbaik ya Bunda, secepatnya," balas Arzali.

"Kalau kamu masih ragu, carilah jawaban dari Allah Nak, tahu kan sholat istikharah?"

Arzali mengangguk, menyetujui perkataan Fazwan, ia sudah melakukannya beberapa kali tetapi tidak ada salahnya juga jika ia melakukannya sekali lagi. Untuk memantapkan hati yang terus merenung bimbang.

"Bunda dan Ayah akan selalu mendukung pilihanmu, selama itu hal baik. Bunda tahu dan Bunda yakin, gadis yang berhasil membuat hati anak Bunda terketuk pastilah wanita yang sangat baik. "

Arzali berdiri dan memeluk kedua orang tuanya. Kebahagiaannya terasa lengkap sebab mereka yang melimpahinya dengan kasih sayang. Selama belasan tahun tinggal bersama, Fazwan dan Hifza tidak pernah memperlakukannya berbeda dengan anak kandung mereka. Seolah dia juga anak mereka sebenarnya, pun dengan adik-adiknya. Meski tahu bahwa mereka bukanlah saudara kandung, mereka tetap menunjukkan cinta yang tulus untuk persaudaraannya.

Arzali mensyukuri semuanya, Arzali bersyukur orang-orang baik ini ada untuknya. Arzali bersyukur Tuhan selalu memberinya berkah dan kebaikan yang tidak ada habisnya. Benar kata bundanya, selama kita sebagai manusia berbuat baik pada diri kita dan orang lain maka kita juga akan dilimpahkan orang-orang baik.

**

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang