Kedua tangan mereka saling menggenggam di depan gerbang menuju area pemakaman keluarga di Kota California, Amerika.
Mereka adalah Prillyza Anindya dan Arzali Bimantara. Pasangan yang baru menikah satu minggu lalu dan memutuskan menghabiskan waktu berlibur ke kota kelahiran Arzali.
"Sudah siap bertemu orang tuaku?" tanya Arzali pada Prillyza. Istrinya itu terlihat sangat cantik dengan balutan gamis putih lengkap dengan hijab putih, senada dengan dirinya yang mengenakan pakaian serba putih pula.
"Siap suamiku," balas Prillyza panggilan yang selalu disebutkan tentu saja berpengaruh besar pada jantung Arzali.
Detakannya sangat kencang, seolah mendapat sesuatu yang begitu berharga. Setelah saling menguatkan melalui tatapan lembutnya sepasang pengantin baru itu melangkah bergandengan tangan memasuki area pemakaman. Tiap satu langkah maju semakin dekat pada tempat tujuan, bisa Prillyza rasakan genggaman tangan Arzali pada jemarinya kian erat.
Setibanya mereka di pusara keluarga Arzali, mereka berjongkok menghadap empat makan yang berjejer. Makam kakek, nenek serta kedua orang tua kandung Arzali.
"Matwell?" gumam Prillyza membaca nama marga yang terukir di batu nisan.
"Itu marga keluarga aku, tapi ketika aku menjadi mualaf aku memutuskan mengganti nama menjadi marga Bimantara." Prillyza mengangguk mendengar penjelasan suaminya.
Keduanya diselimuti keheningan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Arzali tengah memikirkan bagaimana nasibnya jika tidak bertemu Prillyza. Mungkin saat ini, dia masih terjebak dalam belenggu masa lalu kelam yang menyiksa itu. Pun Prillyza yang membayangkan jika saja ia tidak bertemu Arzali. Mungkin ia masih fokus dengan karirnya.
"Selamat pagi Mom, Dad, Gran Pa, Gran Ma." Arzali menyapa dengan suara pelan. Prillyza yang berada di sebelahnya merasa tercekat, belum pernah didapati nada selirih itu. Seolah menyalurkan kerinduan yang bercampur dengan rasa sakit. Duka itu, pasti tidak bisa sepenuhnya dilupakan.
"Aku memenuhi janjiku untuk kembali, datang menemui kalian. Tapi sekarang, aku tidak sendiri." Arzali melirik Prillyza yang tersenyum ke arahnya.
"Dia Prillyza, Istriku. Perempuan hebat yang berhasil membuat aku belajar untuk bangkit dari rasa sakit. Perempuan tulus yang mau menerima semua masa laluku."
"Dia berlebihan," imbuh Prillyza. "Justru saya merasa mejadi perempuan paling beruntung karena mendapatkan sosoknya. Kalian memiliki putra yang begitu luar biasa. Bukan hanya parasnya yang rupawan tapi dia punya jiwa yang dermawan juga pribadi yang beriman." Prillyza memuji penuh ketulusan.
"Apakah aku terlihat seluar biasa itu di matamu?" tanya Arzali, kepalanya bergerak menggeleng ke kanan ke kiri dengan bibir yang menunjukkan kekehan geli.
"Tentu, jika tidak mana mungkin aku memilihmu." Prillyza nyengir kuda menunjukkan deretan giginya yang rapi. Arzali mengacak gemas ubun-ubun Prillyza yang tertutup hijab kemudian merapikan kembali hijab istrinya yang nampak sedikit berantakan akibat ulahnya.
"Bukankah dia sangat menggemaskan?" tanya Arzali dimaksudkan untuk keluarganya. Namun tidak ada jawaban.
"Hari ini, aku Arzali Bimantara. Menyatakan bahwa telah memaafkan kalian dan akan ikhlas dengan semua yang terjadi. Perkataan mereka benar, berdamai dengan masa lalu akan membuat hidup kita nyaman di masa sekarang. Tidak ada lagi gundah dalam tidurku atau mimpi buruk dalam tiap saat terpejamnya mataku. Berbahagialah kalian di surga dan aku akan bahagia di sini, bersama bidadari surgaku." Wajah Prillyza memerah tomat. Arzali semakin pandai merangkai kata yang selalu berhasil memporak-porandakan hatinya.
"Saya juga mengucapkan terima kasih, terima kasih telah menghadirkan sosok putra kalian ke dunia ini. Sebagai pendampingnya, saya merasa sangat bersyukur. Izinkan saya menjaga dan menemaninya di setiap langkah sampai kami sampai ke Jannah-nya Allah."
Keduanya saling menatap lekat penuh cinta. Setelah mengatakan semua yang ingin mereka sampaikan pada keluarga Arzali mereka sama-sama membacakan sebait doa.
Setelahnya mereka melangkah meninggalkan area pemakaman.
Begitulah kisah mereka, berawal dari pertemuan dalam keadaan darurat hingga sampai pada titik dimana cinta menyatukan. Satu orang yang ingin sendiri dalam hidupnya sebab tidak percaya dengan kata cinta, yang baginya hanya sebuah kebohongan yang menyakitkan. Dan sosok Prillyza yang awalnya tidak ingin segera menikah karena ingin fokus pada karirnya.
Mereka dipertemukan oleh takdir Tuhan, diberikan hati untuk saling jatuh satu sama lain hingga akhirnya terikat dalam tali suci pernikahan.
Begitulah kisah Arzali dan Prillyza, cerita tentang bagaimana cinta menemukan rumahnya dan luka menemukan sosok yang menjadi obat terbaiknya.
"Terima kasih telah menjadi cinta terbaik untuk saya. Mari kita lanjutkan kisah kita sampai dititik akhir, raga terpisah dengan nyawa."
"Aku bersedia mendampingimu, sampai embusan napas terakhirku."
Keduanya saling memeluk, menyalurkan cinta kasih juga bahagia.
Inilah hidup tidak semua akan berisi duka pun tidak selalu bahagia. Tapi sebagai manusia yang memiliki garis takdir, mereka hanya bisa menjalaninya. Sebab mereka percaya, di balik usaha yang mereka jalani ada campur tangan Tuhan yang menentukan.
**
Alhamdulillah, selesai juga.
Terimakasih bersedia membaca cerita sederhana ini. Sebenarnya kalau dibuat puanjang bisa hehe tapi sepertinya butuh waktu setahun hehe.Cerita ini selesai hehe.
Maaf juga baru Update karena sibuk banget sama acara organisasi yang mengharuskan nginap. Pegang HP juga gak bisa fokus nulis.
Semoga tidak mengecewakan.Terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzali
RomanceMelupakan menjadi sesuatu yang hampir mustahil bagi setiap manusia. Begitu pun bagi seorang Arzali. Dokter berusia hampir kepala tiga yang belum bisa melupakan kenangan buruk yang terus menghantui dirinya. Baginya, wanita dan cinta adalah dua hal ya...