Menilik Luka

92 17 1
                                    

Rasa sakitnya masih sama, seolah enggan sirna. Katakan, langkah mana yang harus diambil pecundang ini? Agar ia tahu bahwa sembuh itu indah.

Arzali Bimantara

Kedua kakinya berhasil memijak aspal di Bandara International California, setelah belasan jam menempuh jalur udara dari Indonesia. Arzali membenarkan letak kacamata hitam yang dikenakannya kemudian melangkah untuk mengambil koper dan segera pergi ke rumah lamanya. Ia keluar dari bandara kemudian menghampiri sopir yang membawakan mobilnya, segera ia berikan uang pada sopir itu dan memutuskan untuk mengendarai sendiri. Dia tidak ingin seorang pun mengganggunya.

Setengah jam lebih menempuh perjalanan, tanpa menghiraukan tubuh lelahnya Arzali segera memasuki gedung tua yang dulunya merupakan kediaman keluarganya.

"Apa sudah siap kembali kemari?" Suara seseorang yang teramat dikenalnya membuat Arzali menoleh, didapatinya pria paruh baya dengan setelan khas kepolisian. Dia ada Axel Chehan, polisi sekaligus sahabat Daddynya yang dulu membantu menangani serta menutup kasus yang terjadi di keluarganya hingga berhasil dibungkam tanpa lama. Meski tidak dipungkiri bahwa berita itu telah sampai hampir ke seluruh Benua Amerika.

Siapa yang tidak mengenal marga Matweel pada saat itu? Masa kejayaan bisnis besar yang memproduksi berbagai mobil mewah yang selalu terjual dengan harga fantastis, kendaraan produksinya selalu diproduksi tidak sampai dua puluh. Menjadi barang limited edition yang pastinya selalu menjadi incaran.

Kejadian naas itu tentu menjadi berita paling dicari dalam sejarah pengusaha-pengusaha di Amerika, bahkan mungkin sampai saat ini banyak orang yang masih mengingat peristiwa tersebut akan selalu bertanya-tanya perihal di mana satu-satunya keturunan Matweel. Apakah anak remaja itu juga turut tewas bersama kedua orang tuanya atau selamat tanpa diketahui di mana dan apa identitasnya sekarang.

"Paman?" Arzali mengurungkan niat untuk masuk, ia mengambil langkah berbalik arah menghampiri Axel.

"Kau sangat tampan, persis seperti daddymu." Pujian yang dilontarkan Axel justru dibalas kekehan menyakitkan dari Arzali.

"Padahal aku berharap aku tidak sepertinya."

Axel nampak meraup wajahnya, ia jadi merasa telah salah bicara sekarang. Dilihatnya raut wajah tenang milik Arzali berubah kaku dengan netra yang jelas menatapnya dengan pandangan marah. Ia lupa kalau orang yang membesarkan Arzali pernah mengatakan bahwa anak itu berubah begitu membenci kedua orang tuanya.

"Maaf menyinggungmu, tapi kurasa kau juga tidak bisa menampik hal itu." Axel melangkah lebih dulu, melewati tubuh tegap Arzali begitu saja. Diambilnya sebuah kunci dari saku celananya dan dibukanya pintu setinggi dua meter yang masih kokoh itu.

"Kau tidak berniat masuk?"

Arzali bungkam, tapi kedua kakinya bergerak mengikuti langkah Axel, dadanya sesak, bukan karena debu atau lainnya. Rumah ini justru nampak bersih dan tertata rapi, seolah dihuni.

Rasanya kedua matanya memanas, tatanannya persis seperti dulu, saat rumah ini masih menjadi istana yang penuh kehangatan dan kebahagiaan. Dilihatnya sekeliling, benar-benar tidak ada yang berubah, meski sebagian cat di beberapa dinding nampak mengelupas namun barang-barang sekiranya terlihat masih kokoh.

"Aku menyuruh seseorang membersihkan rumah ini, karena aku tahu, suatu saat kau akan datang." Axel menepuk pundak Arzali. "Kau boleh membenci hari itu, aku pun tidak akan mencegah kemarahanmu pada mereka. Tapi Ar, menggenggam semua kebencian itu sendirian akan membuatmu merasa lelah. Jadi kurasa, sebaiknya lepaskan saja semuanya. Hidup berjalan maju, jika kau terpatok oleh masa lalu maka di masa depanmu tidak akan pernah ada kata damai."

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang