Minggu Pagi di Taman Kota

113 19 1
                                    


Dua manusia dipertemukan bukan tanpa dasar, pasti ada alasan mengapa Tuhan biarkan dua raga berbeda ada pada satu situasi yang sama.

Prillyza Anindya

Minggu pagi yang menyenangkan, Prillyza berlari kecil mengelilingi taman dengan pakaian rapi, celana training panjang, jaket dan hijap sportnya dipadukan sepatu berwarna putih yang sangat pas. Pagi ini ia sudah berjanji pada kedua adiknya kalau mereka akan lari pagi di taman kota.

Dan lihatlah, bagaimana Husna si bungsu sangat bersemangat. Gadis aktif itu bukan berlari pelan seperti yang lain justru berlari kencang sesekali menghindar dari kejaran kakak lelakinya.

"Husna tungguin kakak dong!" Lelah mengikuti kedua adiknya yang terlalu aktif Prillyza memutuskan duduk di salah satu bangku taman. Suasana taman kota pagi ini sangat ramai, terlebih di waktu weekend begini. Bayak keluarga kecil yang menghabiskan waktu bersama untuk menikmati udara segar.

"AH, Kak Prillyza payah, lembek banget udah istirahat aja." Husna datang dari arah timur diikuti Zarif yang membawa dua botol air mineral.

"Lo nya aja yang hiper aktif," seloroh Zarif menggoda Husna sembari menyerahkan air mineral yang tutupnya sudah lebih dulu ia buka kepada Prillyza. Kakak tersayangnya itu pasti kelelahan meladeni dia dan Husna yang sudah berkeliling berapa kali. Kemudian mendudukkan diri di atas tanah dengan kedua kaki yang diuruskan.

"Kok aku? Kak Zarif juga, ya larinya kenceng ngejar aku, terus nantangin balapan juga. Pokoknya jangan lupa ya hadiah sepatunya Husna. Kakak kalah tadi."

"Iya Cil, iya, bawel banget." Geram dengan tingkah adiknya Zarif menarik gadis itu duduk di sebelahnya dan merangkulnya agar diam.

"Prillyza?" Suara berat yang beberapa waktu belakangan terasa tidak asing menyapa gendang telinga Prillyza. Bukan itu saja, panggilan itu juga berhasil menarik perhatian kedua adik Prillyza.

Ketiganya menatap lurus pada soseorang lelaki jangkung dengan kaos hitam polos dipadukan celana training panjang dengan warna senada. Di sampingnya ada seorang perempuan dengan ciri khas rambut dikepang samping. Siapa lagi jika bukan Rania, adiknya. Pandangan gadis itu menatap berbinar pada Zarif.

"Kak Zarif?!! Akhinya bisa ketemu kakak tingkat paling keren seantero SMA!"

Husna nampak sedikit tidak suka dengan kehebohan gadis itu pada kakal lelakinya. Ia melihat sinis ke arah Rania yang justru memberikan tatapan kagum sepenuhnya pada sosok Zarif. Dengan possesif Husna merangkul lengan kakaknya menunjukkan tanda kepemilikan pada gadis asing di depannya.

"Dokter Arzali." Prillyza menyapa. Membuat kedua adiknya saling melempar pandangan satu sama lain kebingungan. Jadi kakaknya mengenal pemuda itu? Zarif sigap berdiri dan mengambil posisi di sebelah Prillyza diikuti Husna tentunya.

"Kakak kenal?" tanya Zarif.

"Iya, dia dokter yang dulu bantuin kakak waktu Dafa kecelakaan."

"Benar, saya Arzali, kamu?" Arzali menyapa dengan memperkenalkan dirinya.

"Itu namanya Kak Zarif." Husma memutar bola matanya malas melihat gadis centil di depannya.

"Sok kenal banget!" ketus Husna mendapat teguran dari Prillyza. Gadis itu tersenyum canggung pada Arzali dan Rania tanda merasa tidak enak.

"Emang kenal kok, dia kan kakak kelas aku!" balas Rania tidak mau kalah. Ia sudah mencoba sabar karena tahu kalau gadis menyebalkan yang menjadi lawan bicaranya sekarang adalah adik dari ketua Osis di sekolahnya.

"Dia kakak aku gausah genit!" Zarif menghela napas pelan. Jangan lupakan adiknya yang super cemburuan. Ingin sekali ia membungkam nibir lemesnya. Tapi demi menjaga wibawanya sebagai ketua Osis di depan siswi populer di sekolah dia harus tetap kalem.

"Husna, yang sopan," tegur Prillyza dengan suara tegas.

"Tidak apa, mereka masih remaja Zaza." Panggilan yang dilontarkan Arzali membuat kedua bola mata Prillyza membulat. Apa apaan ini! Di depan adiknya lelaki itu memanggilnya dengan nama iseng yang dia gunakan kala menyimpan nomornya di ponsel dokter baik hati itu.

"What? Jadi ini Ar ar  yang nge-chat Kak Prillyza semalam? Ih sumpah?! Kak Prillyza pinter deh cari pacarnya!" Celetukan Husna kembali menyapa pendengaran para anak cucuk adam itu. Membuat dokter Arzali kikuk tidak tahu harus bersikap bagaimana dan membuat Prillyza merasa ingin menghilang diantara rerumputan detik itu juga.

Zarif seorang pembaca situasi yang andal. Ia segera menarik Husna agar tidak semakin membuat kekacauan. Si empunya sempat menolak dan memberikan berontakan kecil, tetapi setelah diiming-imingi makanan juga sepatu koleksi terbaru Husna perlahan pasrah.

Biarlah saja dia tidak peduli urusan antara Dokter Ar ar juga kakaknya Zaza yang penting koleksi sepatunya bertambah. Sementara Raina yang melihat kepergian Zarif merasa sedikit kecewa. Kenapa dia tidak diajak saja, sekarang dia harus apa? Bersama kedua orang dewasa di depannya.

"Eh perkenalakan ini Rania adik saya," kata Arzali memperkenalkan adik perempuannya.

"Halo Rania, saya Prillyza." Prillyza mengulurkan tangannya yang dibalas ramah oleh Rania, gadis SMA itu memang humbel dan ramah pada semua orang.

"Kak Prillyza pacarnya Kak Arzali?"

"Ah, bukan. Kami hanya kenal saja."

"Yah masa si? Padahal kelihatannya kalian saling suka gitu atau Kak Arzali aja yang suka Kak Prillyza tapi Kak Prillyza -nya engga?" Prillyza terkekeh geli mendengar itu, suasana yang tadinya sempat kaku seketika menjadi terasa lebih hangat.

"Jangan sok tau,  masih kecil!" Arzali mencubit gemas pipi berisi adiknya. Karena lelah berdiri, ia mendudukkan diri di samping Prillyza. Hal itu membuat si gadis terkejut. Namun Prillyza berusaha bersikap biasa saja.

"Kak Prillyza yang sabar, ya Kak Arzali orangnya agak nyebelin." Rania mengambil posisi duduk di antara Prillyza dan Arzali dua perempuan berbeda usia itu saling bercerita lebih tepatnya Rania yang banyak bertanya soal Zarif.

"Sudah hapir siang. Bagaimana kalau kita sarapan saja?" Arzali memotong percakapan antara Rania dan Prillyza mendengar suara perutnya yang meronta meminta diisi. Memang ia belum sempat sarapan karena mengikuti kemauan keras kepala adik bungsunya. Dengan semangat emat lima Rania melanglah lebih dulu, meninggalkan Arzali dan Prillyza yang nanpak canggung ditinggal berdua.

"Kita ketemu lagi Bu Guru, jadi bagimana keadaan Dafa?"

"Sudah lebih baik Dokter, terima kasih atas bantunnya."

"Dan bagaimana soal perasaan kamu?" Diamnya Prillyza membuat Arzali merasa ada yang salah dengan perkataannya, ia berdehem kemudian meralat, "mungkin lebih baik saya bertanya mau sarapan apa hari ini?"

"Bubur ayam saja," balas Prillyza cepat melihat kedua adiknya tengah makan di salah satu tenda penjual bubur ayam juga ada Rania yang tengah berjalan ke arah sana.

"Baiklah, mari."

"Oh, iya, omong-omong saya belum mendapat jawaban soal ajakan saya bertemu dan bicara lebih dalam dengan kamu. Jadi kapan?" Pertanyaan yang disampaikan dengan suara pelan itu berhasil membuat Prillyza menghentikan sesaat aktivitas makannya. Ia melirik resah pada Arzali.

"Harus saya jawab sekarang?" balasnya berbisik.

"Tentu, atau saya harus menunggu lagi?" Arzali dengan santai menikmati bubur ayam pesannya, juga segelas teh hangat di depannya tanpa menghiraukan Prillyza yang mungkin telah kehilangan selera makannya karena perkataan Arzali tadi yang mengungkit perihal pertemuan mereka.

"Bagaimana kalau minggu depan? Saya usahakan."

"Kalau begitu saya pastikan. Kapan pun kamu siap saya juga siap menemui kamu."

Usai mengatakan itu bersamaan dengan tegukan terakhir teh manisnya Arzali berdiri diikuti Raina. Mereka berpamitan untuk pulang sementara Prillyza hanya mampu menghela napas panjang. Sekarang ia punya celah untuk tenang setidaknya sebelum kedua adiknya akan banyak bertanya. 

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang