Pertemuan Ketiga

139 24 1
                                    


Bunda saya pernah bilang. Bila jodohmu datang nanti, kamu akan merasakan hal berbeda didekatnya. Dipertemuan pertama kamu akan terpukau, dipertemuan kedua kamu akan merasa kagum, tak bisa lepas memandangnya, dan dipertemuan ketiga kamu akan merasakan getaran cintanya. Katanya seperti itulah cara Tuhan mengirimkan makmum pilihan-Nya.

Arzali Bimantara

Arzali mengucap salam dirakaat terakhir, lalu menengok ke nanan dan ke kiri, diikuti oleh Prillyza. Hari ini gadis itu menjadi makmum sholat seorang Arzali. Keduanya berdoa masing-masing.

"Bu Prillyza," panggil Arzali ketika keduanya di depan mushola.

"Iya?"

"Em, Kamu mau pulang atau masih menunggu Dafa?"

"Saya masih harus menjaga dia sampai orang tuanya datang, Dokter. Mereka sedang dalam perjalanan," jawab Prillyza. Keduanya berjalan beriringan. Sesekali Prillyza membalas sapaan orang yang berpapasan dengan mereka.

"Jadi, kamu guru sekolah dasar?" tanya Arzali. Lelaki itu jadi banyak bicara didekat Prillyza.

"Iya, saya mengajar sudah sekitar dua tahun belakangan. Kalau Dokter sendiri? Sudah lama menjadi dokter?"

Arzali tersenyum kecil. "Saya sudah lima tahun mengabdi di rumah sakit, Prillyza. Menjadi dokter umum, awalnya saya ingin menjadi dokter bedah, tapi rasanya terlalu berat, seperti bertaruh dengan nyawa pasiennya."

"Ya, begitulah. Setiap bidang pekerjaan memiliki resikonya masing-masing." Arzali mengangguk, merasa sependapat.

"Begitulah, namanya juga beker—" Perkataan Arzali terpotong oleh dering ponselnya.

Bunda Calling

"Ah, maaf, ini telepon dari Bunda saya. Saya angkat dulu," izinnya.

"Silakan."

"Halo Bunda," kata Arzali mengawali panggilan.

"Assalamualaikum, Nak."

"Waalaikumslam, Bun." Arzali sampai lupa mengucap salam. Dia bisa mendengar dengusan pelan di seberang sana.

"Kamu pulang malam lagi?" tanya Hifza, minggu ini Arzali memang lembur hingga malam, karena dokter yang harusnya bertugas tengah sakit.

"Iya, Bun. Maaf, ya enggak bisa makan malam bareng lagi. Aku masih ada jadwal ngecek beberapa pasien setelah ini." Ada nada penyesalan dalam ucapannya. Arzali paling tidak bisa menolak bundanya, biasanya dia selalu mengiyakan apa pun yang wanita paruh baya itu minta. Ah, kecuali satu hal, soal pasangan hidup. Itu merupakan sebuah pengecualian.

"Iya, Sayang. Enggak papa, Bunda paham itu tanggung jawab kamu. Bunda nelpon kamu mau sekalian nanya soal pesanan adek bontot kamu. Udah ada belum? Dianya udah ngambek itu." Terdengar suara protes di seberang sana, lebih persis seperti rengekan. Adik bungsu-nya pasti udah ngambek karena pagi tadi sempat menitipkan sesuatu pada Arzali.

"Iya, Bunda. Setelah memeriksa pasien nanti aku langsung belikan pesanannya. Aku tutup, ya Bun. Bilangin ke si princess jangan ngambekkan nanti cantiknya hilang. Assalalamualaikum."

"Iya, hati-hati ya, Nak pulangnya. Waalaikumsalam."

Arzali memasukkan ponselnya ke saku celana bahan, kembali fokus pada Prillyza. Keduanya sudah berada di depan lift.

"Bu Prillyza," panggil Arzali sembari menunggu lift.

"Iya Dokter."

"Setelah melihat kamu saya baru teringat perkataan Bunda saya." Prillyza menyernyit.

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang