Keluarga Prillyza Anindya

123 20 1
                                    

Dalam hidup, kita punya hak atas diri kita sendiri. Kita berhak memilih apa yang akan kita jalani, berhak memutuskan jalan mana yang akan kita langkahi.

Prillyza Anindya

"Assalamualaikum," ucapnya ketika memasuki sebuah rumah sederhana dengan dua lantai.

"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban dari dalam. Prillyza melangkah masuk, di ruang tamu dia melihat ayahnya tengah serius bicara dengan seorang lelaki muda.

"Prillyza, masuk ke kamarmu!" titah sang ayah tegas. Malik Adyatma –ayah Prillyza – adalah orang yang tegas dan disiplin. Sosok kepala keluarga pekerja keras dan penuh kasih.

Prillyza hanya mengangguk saja, segera ia berlalu, melangkah menaiki anak tangga.

"Apa kamu yakin?" Pertanyaan yang Malik lontarkan terdengar ketika Prillyza baru sampai di anak tangga kelima. Prillyza berhenti sejenak dan menoleh melihat kedua lelaki berbeda usia itu. Mereka nampak serius membicarakan suatu hal. 

"Saya yakin, Om. Saya sudah memikirkan semua baik-baik."

Dari balik punggung ayahnya Prillyza bisa melihat lelaki paruh baya itu mengangguk.

"Kak Prillyza," panggil seorang gadis remaja dengan suara berbisik. Dia ada di ujung anak tangga lantai 2. Tangannya bergerak melambai mengode Prillyza untuk naik.

"Ada apa, Na?" tanya Prillyza pada Husna– nama lengkapnya Husna Anindya, adik perempuan Prillyza, anak bungsu keluarga Adyatma.

"Ust." Husna menempelkan jari telunjuk dibibirnya meminta sang kakak diam. Ia segera menarik tangan Prillyza, membawa sang kakak ke kamarnya. Di dalam sudah ada Zarif Adyatma– adik laki-laki Prillyza, anak kedua di keluarga Adyatma.

Setelah keduanya masuk Husna segera mengunci pintu kamarnya. Remaja itu menarik kakaknya agar bersedia ikut duduk di atas ranjang menyusul Zarif yang lebih dulu duduk manis di atas lahan empuk itu. 

"Kenapa sih, Dek?" tanya Prillyza bingung. Ia  terlebih dahulu meletakkan tas selempangnya di atas meja belajar baru kemudian mendudukkan dirinya di ranjang.

"Aku juga enggak tahu, Kak." Husna nyengir kuda.

"Kebiasaan, lo emang!" Zarif melempar kacang ke Husna, mengenai kening remaja itu.

"Kak Arif!" kesal Husna, mengusap keningnya. Pelaku pelemparah hanya mengedikkan bahu tak acuh. 

"Kalian ini kebiasaan beranten terus," tegur Prillyza. Sudah tidak asing baginya melihat perselisihan kedua adiknya.

"Kak Prillyza kenal sama kakak yang di bawah?" tanya Husna berhasil membuat kening Prillyza menyernyit. Ia menggeleng tanda ia tidak mengenalnya. Bahkan bisa dikatakan ini baru pertama kali dirinya melihat pemuda itu di rumahnya. meski wajahnya terlihat tidak terlalu asing, sayangnya Prillyza sulit mengingat atau menebak siapakah gerangan pemuda yang tengah bicara pada ayahnya. Ia hanya menebak mungkin rekan kerja atau orang yang membutuhkan jasa ayahnya. 

"Enggak, emang ada apa?" Husna nampak berpikir. Lagaknya sudah seperti bos yang tengah memimpin rapat dengan satu tangan dilipat di dada menumpu tangan kanan yang jarinya memegang dagu.

"Tadi aku sempat dengar pembicaraan Ayah sama dia—"

"Tukang nguping," sela Zarif, membuat Husna melotot padanya. Tangan kanannya dengan ringan menggeplak paha keras Zafran.

"Bisa diem enggak, sih?! Ini urusan perempuan, yang cowok diem. Kecuali kalau lo ngerasa lo cewek!" galaknya.

"Ayah sama dia apa?" tanya Prillyza, ia penasaran dengan kelanjutan kalimatnya.

ArzaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang