A7

1.5K 82 3
                                    

"Ngapain lo? " Tanya Darma ketika Adara masuk kedalam kamarnya. Adara menoleh, lalu melanjutkan langkahnya seolah tak ada Darma disana. Ia sepenuhnya mengabaikannya. Ini sudah sore, acara pernikahan dadakan mereka sudah selesai sejak siang tadi, orang tua Darma pun sudah pulang kisaran satu jam yang lalu. Dan Adara sangat mengantuk sekarang, jadi perempuan yang sedang hamil lima minggu itu dengan lancang langsung masuk ke satu-satunya kamar di unit apartemen itu. Tak peduli kalau ia bahkan baru pertama kali menginjak apartemen ini. Adara mengintarinya tanpa segan, seolah unit ini memang lah miliknya.

"Gue pikir lo nggak sebodoh itu untuk nanya-nanya hal yang sepele" Kata Adara, menaiki ranjang Darma dan menarik selimut. Bersiap untuk tidur.

"Siapa yang ngijinin lo tidur di kamar gue? "

"Gue sendiri"

"Bangun Adara! " Darma geram, pasalnya Adara seperti tak menganggapnya ada.

" Adara! " Sekali lagi Darma menegur. Namun tak juga ada sahutan dari perempuan hamil itu. Darma meremas ipad yang ia pegang. Melatakkannya kasar ke meja kerjanya seolah benda itu tak begitu berharga untuknya.

"Bangun! " Sentaknya, menarik selimut Adara.

"Apa sih? "

"Ini kamar gue Dar, keluar! Gue nggak suka sama lo"

Adara memutar bola matanya, "Jadi, menurut lo gue suka sama lo? Nggak!"

"Dara"

"Apa! Gue ngantuk anjing, ngantuk! Apa sih susahnya lo diem. Muak tau nggak! "

Darma diam, lebih tepatnya memaksakan diri untuk diam karena ia takut lepas kendali.

"Kalau lo yang nggak mau tidur sekamar sama gue ya udah, lo tidur di luar sana! Lo laki kan? Ngotak dong kalau nyuruh gue yang tidur di luar, gue hamil bodoh! "

Darma menipiskan bibirnya, namun ia tetap diam ketika Adara kembali menarik selimut dan berbaring di tempat tidurnya. Laki-laki itu kehabisan kata-katanya.

———

Darma meletakkan ipadnya, laki-laki itu lalu melirik kearah jam di dinding apartemennya dan juga pintu kamarnya secara bergantian. Ini sudah pukul sembilan malam dan Adara belum juga bangun sejak perempuan itu tidur sore tadi. Darma menghela napas. Mencoba mengabaikan rasa tak nyaman di hatinya, tapi ternyata sangat sulit. Kehadiran Adara sangat sulit ia abaikan. Rasa itu.. Seperti rasa marah dan benci yang memuncak. Yah, dan Darma tak bisa mengabaikannya sama sekali.

Ddrrt!

Getaran di ponselnya mengalihkan pikiran Darma, laki-laki berkaca mata radiasi itu meraih ponselnya, mengernyit saat melihat spam chat dari mamanya.

Mama (4)

Darma, kalian sudah makan malam?

Adara baik?

Kalian jangan bertengkar lagi ya, kamu tahan emosi mu, Adara kan sedang hamil.

Ibu hamil itu sensitif nak, setidaknya kalau kamu marah jangan lampiasin ke Dara, oke.

Darma mendengus, melemparkan ponselnya ke sofa sebelahnya. Jengah ketika semua orang terus membahas Adara. Lagian, kenapa mamanya jadi sepeduli itu dengan Adara sih? Apa mamanya sudah melupakan Dinda secepat itu? Ah, ntah mengapa Darma merasa tak terima akan fakta itu. Ia seolah masih ingin menegaskan pada orang tuanya kalau mereka hanya boleh bersikap baik pada Dindanya.

Ah, Dinda-nya? Masih kah ia berhak memanggil Dinda seperti itu?

Menggelengkan kepalanya, Darma lalu bangkit dari posisi nya yang duduk di lantai ruang tamu, mengambil ponsel yang tadi ia lempar keatas sofa. Di lihatnya lock screen  ponselnya yang masih foto Dinda. Laki-laki itu mengeratkan tangannya.

Kenapa ia yang harus ada diposisi ini? Sungguh, tak pernah sekalipun Darma membayangkan perempuan lain selain Dinda untuk menjadi istrinya. Semua ini bermula dari Adara. Adara dan Adara, ah! Sial! Darma memaki

----------

Darma tak ingat bagaimana bisa ia tertidur di lantai ruang tamu tadi malam. Seingatnya, ia masih merutuki nasibnya yang harus berpisah dengan Dinda, lalu kantuk datang dan tiba-tiba sekarang  ia sudah terbangun di pukul 3 dini hari karena kedinginan. Mengerang pelan ia lalu duduk di sofa, menunduk dengan kedua tangan yang meremas rambut. Kepalanya sangat pusing. Mungkin karena efek telat makan dan tidur di lantai membuatnya masuk angin hingga berefek ke kepalanya atau mungkin juga karena ia memaksakan diri untuk bangun saat ia masih begitu mengantuk. Ntah lah, Darma tak tau, yang pasti kepalanya benar-benar pusing sekarang.

Blam!

Darma terperanjat, sangat kaget saat mendengar suara pintu kulkas yang di banting. Suara itu jelas sekali berasal dari dapurnya. Ah, siapa yang didini hari ini membuat keributan? Darma melirik kanan-kirinya, mencari apapun yang bisa ia pakai untuk melindungi diri, takut-takut kalau yang berada di dapur bukan lah orang yang ia kenal sebelum sedetik kemudian ia mendengus begitu mengingat banyak fakta. Jelas saja. Itu sudah pasti Adara. Istrinya. Ah, sial! Darma mengacak rambutnya kesal sebelum akhirnya ia melangkah untuk mengecek apa yang di lakukan perusak hubungannya dengan Dinda itu di malam hari begini.

" Dara? "

Adara menoleh, perempuan yang masih berpakaian sama seperti ketika mereka menikah siang tadi itu menaikkan satu alisnya. Seolah bertanya mengapa tanpa suara.

"Lo ngapain! " Bentak Darma ketika ia melihat apa yang dilakukan perempuan itu secara jelas.

Adara mengangkat botol yang memang ia pegang, "minum lah, lo pikir ngapain? " Sahutnya santai tanpa beban.

"Lo minum bir gue? " Tanya Darma retoris.

"Iya, kenapa? Lo mau? "

Mengetatkan rahangnya, Darma melangkah cepat, menarik botol berwarna hitam dengan logo khas bir terkenal yang biasa ia minum ketika suntuk itu dengan kasar. " Lo gila! Lo lagi hamil bodoh! " Darma memaki, ia lalu memastikan isi bir dengan botol sedang itu, ingin tau seberapa banyak Adara meminumnya. Ternyata baru berkurang beberapa mili, sepertinya Adara belum sempat meminumnya terlalu banyak. Atau bahkan belum meminumnya karena ia masih melihat ada cairan berbau khas itu di gelas kecil disebelah Adara.

"Gila lo! " Darma kembali memaki, masih tak percaya dengan apa yang Adara lakukan, apalagi ketika ia melihat di atas meja pantri ada dua putung rokok yang sudah habis.

"Lo ngerokok juga! "

Adara mengedikkan bahunya, santai.

"Bangsat!" Darma memegang pipi Adara yang membuat perempuan itu tersentak. " Apa sih Dar! " Elak Adara ketika Darma menekan pipinya. " Apa aja yang lo minum? "

Adara memukul tangan Darma, melapaskan diri. " Jangan sok ikut campur! "

Darma melangkah tegap kearah kulkas, mengambil sebotol air dingin. Membuka tutupnya lalu kembali berdiri di hadapan Adara. Sepersekian detik setelahnya Adara hanya bisa memberontak ketika Darma menekan pipinya dan menumpahkan sebotol minuman dingin itu kemulutnya.

"Habisin! Sampai masih gue cium bau bir dari mulut lo, gue hancurin mulut nggak guna lo itu"

Uhuk

Uhuk.

Adara memukul dadanya, merasa sesak ketika air itu terasa masuk keparu-parunya. Sakit sekali.  "Anjing lo Dar!"

" Lo yang anjing! Nggak punya otak atau memang bodoh lo hah! Lo hamil bodoh! "

Adara mengelap mulutnya, menatap Darma marah. " Kenapa emangnya kalau gue hamil hah? "

"Lo bisa ke guguran bodoh! "

"Bukan urusan lo Darma! "

"Itu anak gue anjing!"

"Oh, lo ngakuin? "

Darma diam, ia seperti termakan omongannya sendiri.

Adara tersenyum tipis. Meremehkan. Laki-laki seperti Darma ini memang sampah, gampang di manfaatkan.


AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang