A11

1.6K 87 5
                                    

"Berapa lama lagi kamu mau pulang Darma? " Pertanyaan Surya membuat Darma menghentikan gerakan tangannya yang sedang membalas email yang dikirim Aga.

"Maksud ayah? " Tanya Darma pura-pura tak paham dengan arah pembicaraan ayahnya itu.

"Kamu pikir ayah bodoh? Kamu setengah bulan ini nggak pernah pulang kerumah mu kan? "

Darma menutup laptopnya, menatap ayah dan mamanya bergantian. "Aku pulang kok, buktinya aku disini kan? "

"Darma" Nia menegur, ikut kesal dengan jawaban Darma yang bertele-tele. Sudah dua minggu ini Darma tak pulang ke apartemennya. Terhitung semenjak pertengkarannya dengan Adara kala itu, Darma memutuskan untuk kembali kerumah orang tuanya. Beralasan ada masalah kantor yang harus ia handle dari jarak dekat yang tentu saja membuat kedua orang tuanya tak bisa menyalahkannya.  Awalnya begitu, disatu, dua hari baik Surya maupun Nia masih membiarkannya, namun saat memasuki hari ke tujuh dan seterusnya kedua orang yang selaku orang tua Darma itu jelas mulai merasa risih dan curiga. Tingkah Darma ini seperti ada yang disembunyikan.

"Pulang kamu" Surya kembali bersuara, nadanya santai sekali tapi tidak dengan tatapannya.

Darma tak menjawab, tangannya pun kembali sibuk mengetik email balasan pada sekretarisnya.

"Bisu kamu? "

"Ayah, " Nia menegur suaminya.

"Bicara sama anak mu itu, sebelum tangan ku yang bicara" Surya kembali sibuk membolak balikkan majalah bisnisnya sedangkan Nia langsung diam. Jika suaminya sudah berbicara seperti itu, pasti akan ada masalah jika ayah dan anak ini dibiarkan berbicara berdua saja. Maka, mau tak mau Nia lah yang harus menengahi.

"Darma"

"Aku pulang kok Ma, cuma lagi ada masalah kantor aja" Darma menyahut tanpa harus ditanya dua kali.

"Dua minggu loh udahan"

"Ya gimana, masalahnya belum selesai"

"Tapi , ayahmu tanya sama Aga katanya nggak ada masalah sama kantor, kamu jangan ngelak-ngelak gitu dong. Mama nggak suka Darma"

Darma melirik ayahnya, mendengus kesal saat tau kehidupannya masih di awasi oleh ayahnya itu. Ia lalu kembali melihat mamanya, mengangguk pelan.

"Iya, nanti pulang"

"Kamu jawabnya gitu terus, istri mu lagi  hamil loh Dar, kalau ada apa-apa gimana? "

"Salah siapa mau hamil, disuruh gugurin nggak mau"

"Darma! " Nia membentak, jawaban situnggal Kaindra itu tampaknya sangat diluar perkiraannya. Bahkan Surya yang tadinya berusaha acuh pun kembali menatap anak tunggal nya itu tajam.

"Aku bener kan? Yang maksa buat lanjutin kehamilannya siapa Ma? Aku nggak mau punya anak, dia aja yang bodoh! "

"Kamu yang bodoh! " Surya ikut bersuara sedangkan Nia sendiri terdiam seolah kehabisan kata-kata. Ia tau kalau Darma tak suka dengan Adara, tapi Nia masih tak menyangka kalau Darma sebenci itu pada Adara dan anaknya. Jawaban Darma itu membuat ibu satu anak itu terkejut sampai tak bisa mengatakan apapun lagi.

"Punya otak nggak di pakai, cinta mati sama Dinda tapi kakaknya juga kamu tidurin, uda gini nyalahkan takdir. Manusia bodoh dari yang terbodoh itu ya kamu"

"Ayah nggak tau aja Adara kayak mana, dia pasti yang ngerencanain semua Yah, dia itu licik. Siapa yang tau pasti itu anakku atau bukan "

"Mau lepas tanggung jawab kamu"

"Yah, ayah ngerti bahasa ku nggak sih? Anak itu belum tentu anakku! "

"Tapi kamu memang nidurin Dara kan? "

Darma diam. Laki-laki itu mengalihkan tatapannya. Pertanyaan ayahnya itu telah menamparnya dengan keras. Bohong kalau Darma tak ingat. Ia ingat semuanya sekalipun samar. Alkohol memang membuatnya mabuk tapi tak sampai membuat hilang ingatannya sama sekali.

"Mabukmu itu nggak mungkin separah itu, minuman harian mu itu kan? " Surya bertanya dengan nada megejek.. "Kamu pikir ayah nggak tau kerjaan mu tiap harinya cuma keluar masuk Bar? "

Darma menunduk.

"Sok-sok an bilang nggak ingat, denial aja kamu kan? Nggak mau ngakui karena masih pengen dilihat benar sama Dinda?"

"Apa sih Yah, aku beneran nggak ingat"

"Semua? Yakin? "

Darma kembali diam.

"Yakin nggak ingat sama sekali?" Tanya Surya mengintimidasi. "Diam kamu kan? Nggak bisa jawab?"

Surya menutup majalah bisnisnya. Kembali menatap Darma fokus. "Kamu itu bisa bodoh-bodohi mama mu, sama ayah mati kamu!"

"Terus apa? "

"Terus apa maksud mu? " Tanya Surya tak mengalihkan tatapannya sama sekali.

"Kalau aku nidurin Dara terus aku harus apa? "

"Masih berani kamu nanya hal kayak gitu. Beneran bodoh atau kayak mana kamu ini hah? "

Darma megepalkan tangannya. Berhadapan dengan ayahnya itu sangat menguras emosinya. "Kalau Dara aja bisa tidur sama aku secara cuma-cuma, nggak mungkin sama yang lain nggak. Siapa yang tau itu anak pacarnya dan aku jadi tumbal"

"Pertanyaan ayah tadi apa memangnya? "

Darma diam.

"Ayah tanya kamu pernah nidurin Dara atau nggak kan? Itu kan pertanyaan ayah tadi. Iya kan? Jawab bodoh! "

"Iya"

"Iya apa? "

"Iya, aku nidurin Dara"

"Dan kamu masih tanya kenapa kamu harus nikahin dia? "

" Ya tapi—

"Apa alasan itu masih nggak bisa untuk nikahin Adara hah? "

Kali ini Darma bahkan tak berani hanya untuk sekedar menatap mata ayahnya. Rasa malu itu menyergap hatinya.

"Kamu pikir sekebal apa rasa malu mu sampai berani lepas tanggung jawab dari Adara, lalu mau ngotot nikahin adiknya? "

"Ayah nggak peduli anak yang dikandung Adara itu anak mu atau bukan, tapi kamu uda pernah berbuat, kamu tetap harus tanggung jawab. Paham kamu! " Surya menghela napasnya. "Sekarang pulang kamu! Mau kayak mana pun kamu menolak pernikahan mu, Adara tetep istrimu. Mau anak itu darah daging mu atau bukan. Dia tetep anakmu. Kamu yang bakal tetap dipanggil Ayah sama anak itu kelak. Apapun yang terjadi. "

Darma tak mengatakan apapun. Tapi ia langsung bangkit dari duduknya. Tangannya terkepal. Namun, malam itu juga ia melangkah pulang.

Kerumahnya.

AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang