A4

1.9K 77 4
                                    

"Kalian—"

Adara menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi makan. "Kami apa? Pacaran? Tunangan? Atau ada hubungan gitu? Itu kan yang mau lo tanya Di" Tanya Adara santai, menatap tiga anggota keluarganya dengan dagu terangkat, sombong sekali.

"Jawabannya nggak" Kata Adara lagi tanpa mendengar jawaban dari siapapun.

"Tapi kenapa kakak bilang kayak gitu tadi? Kakak buat kami salah paham tau nggak? " Untuk pertama kalinya si lembut Dinda menaikkan nada suaranya.

"Wah, kamu marah? Adinda si lemah lembut kayak mama ini marah? " Tanya Adara menyulut amarah, nadanya menyebalkan sekali, seperti memprovokasi.

"Adara? Jangan main-main kamu!" Arvin menunjuk adiknya geram, sedangkan Adipto hanya diam, tampaknya laki-laki tua itu masih dalam efek kejutnya. Mereka semua tak bodoh untuk tak memahami arah pembicaraan Adara sebelumnya, mereka hanya berusaha menyangkalnya.

"Main-main apa? Aku nggak main-main?" Adara menyahut lagi, ia lalu menatap Darma yang kini sudah pucat pasi, pembawaannya yang tenang seolah sirna sekejab mata. " Ya kan, sayang? "

"Kakak! Apa-apaan kakak ini! Darma tunangan ku! Jangan buat kami salah paham kak! " Dinda kembali membentak, ia lalu memegang tangan Darma. "Sayang, ayo bela diri, jangan buat kita semakin salah paham" Dinda memohon. Tak mendapat respon berarti dari Darma, ia lalu kembali menatap Adara. "Kak, aku mohon, jangan kayak gini, kami bisa berakhir karena kesalah pahaman ini, aku tau—" Dinda tersedak tangisannya. " Aku tau kakak nggak suka sama aku, tapi nggak harus kayak gini kan? "

"Memangnya gue kayak mana? Lagian bagian mana dari kalimat gue sebelumnya yang buat lo salah paham Di? Bagian gue ngidam? Atau bagian Darma itu calon ayah anak gue? Lo perlu penjelasan kayak mana lagi? " Adara melipat tangannya di depan dada, " Apa gue harus menjelaskan secara detail apa yang gue sama tunangan lo itu lakuin di kamar hotel bintang lima dekat kantor nya hm? Atau lo mau tau gimana panasnya gue sama tunangan lo itu—

"Adara! " Darma membentak. Tak sanggup melihat bagaimana hancurnya Dinda di setiap kalimat yang di utarakan Adara.

"Kenapa? Lo juga marah? Atau malu? Ck, mau sampai kapan sih kita tutupi hubungan kita Dar? Anak lo ini nggak mungkin sebiji kacang terus kan besarnya? "

Darma mengepalkan tangannya, matanya menatap Adara tajam tapi tanpa mengatakan apapun ia lalu menarik Dinda yang tersedu, memeluknya sambil terus berbisik maaf.

"Ng-ngak! " Suara Dinda tersendat. "Nggak mungkin kamu hamilin kakak ku kan sayang, nggak mungkin kan? Demi Tuhan, kita mau nikah bulan depan Darma! Kita mau nikah! "

Darma mengerjapkan matanya dan setetes air mata jatuh di pipinya. Laki-laki itu merasakan rasa sakit yang sama. " Maaf, sayang, maaf"

Dan runtuhlah semua harapan mereka, permohonan maaf Darma telah menjelaskan semuanya. Mereka tak sebodoh itu tak mengerti dari kata maaf yang Darma ucapkan.

Adipto terduduk di kursinya, wajahnya pucat namun tak ada sepatah kata pun yang terucap, sedangkan Arvin mengepalkan tangannya dan suara pukulan keras untuk Darma terasa memekakkan di gendang telinga.

Laki-laki itu di hajar habis-habisan oleh sulung Mahendra yang kalap dan  Adara sendiri hanya tersenyum tipis ketika melihat adik bungsunya yang tampak tak memiliki semangat hidup lagi.

Satu langkah berhasil telah ia lewati.

Ah, tidakkah Adara hebat?

AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang