"Sebentar, Aga" Darma menjauhkan ponsel yang menempel ditelinganya saat ia mendengar erangan Adara yang tak jauh darinya.
"Saya tutup dulu. Satu jam lagi tolong hubungi saya lagi" Darma mematikan sambungan teleponnya dengan Aga begitu saja. Ia bahkan melempar ponselnya ke sofa tanpa berpikir dua kali. Fokusnya sekarang hanya pada Adara yang sedang meringis memegangi kepalanya yang di perban.
"Dara? " Laki-laki itu menghampiri Adara dengan langkah terburu. "Sakit? " Tanyanya lembut.
Adara menoleh, tatapannya tak bisa di diskripsikan dengan jelas tapi ada binar yang sulit Darma pahami disana. " Dara? "
Adara mengangguk. "Gue pikir gue uda mati"
Darma menggeleng. Seolah menolak pikiran buruk Adara itu. "Mau minum? " Tawarnya tanpa menanggapi racauan Adara sebelumnya.
Adara diam saja, tapi Darma tetap menyodor segelas air putih ke dekat bibirnya. " Ah, susah minumnya ya, sebentar aku ambil sedotan dulu. " Darma kembali membuka nakas, mencari sedotan yang ia maksud. " Ini, sekarang minum ya"
Adara ingin mengelak, namun Darma sepertinya tak menyerah, maka mau tak mau Adara pun meminumnya sedikit.
"Mau panggil Dokter? "
Adara menggeleng. "Nggak,"
Darma mengangguk, laki-laki itu lalu menarik kursi yang ada disebelah ranjang Adara, duduk tepat disebelah sisi tubuh Adara.
"Siapa yang bawa gue kerumah sakit? "
Darma menolehkan wajahnya, menatap Adara yang sekarang sedang menatap langit-langit rumah sakit dengan pandangan kosong. "Gue, sama—" Darma berdehem. " Dinda juga tadi"
Adara mendengus, " Gue pikir kalian biarin gue mati membusuk gitu aja dibanding bawa gue kerumah sakit"
"Nggak sejahat itu, "
"Oh, "
"Dinda kirim salam sama lo tadi, dia nggak bisa nungguin lo lama-lama"
"Nggak penting juga"
" Dara" Darma menegur. " Dinda nggak sejahat itu, bisa berhenti menyudutkan kami? "
Adara menghela napas, ia lalu memiringkan kepalanya sedikit, mengalihkan tatapannya dari langit-langit kamar.
"Kalian merasa gue sudutkan? Serius? Setelah banyak hal yang terjadi sama gue? "
" Dara" Darma menekan suaranya. "Kami nggak salah, yang salah itu orang tua lo, yang salah itu keluarga lo. Pernikahan lo sama Gio batal itu murni karena keluarga kalian. Bukan karena Dinda. "
Adara tersenyum, senyuman yang berbeda, senyuman yang seperti memiliki rasa sakit. " Iya. Lo bener. Dinda nggak mungkin salah. Yang salah gue dan selalu gue"
Darma mendengus. Tiba-tiba merasa muak dengan sifat Adara yang seolah bermain peran. " Lo seharusnya bersyukur punya adik kayak Dinda, dia selalu support lo bahkan diwaktu dia terpuruk. "
"Support gue? Serius Dar? Lo percaya dia support gue? Kapan? Gue tanya sama lo kapan?" Adara menyalak tak terima. Karena sungguh, ia merasa Dinda tak pernah memperlakukannya seperti yang Darma sebutkan untuknya.
"Sekarang! Lo tanya kapan kan? Sekarang Dara, sekarang!" Darma ikut termakan emosi. Sungguh Adara ini menyebalkan sekali untuknya. Tidakkah perempuan itu sadar betapa baiknya Dinda? Karena demi apapun, Darma pun tak mungkin ada diposisi ini jika bukan karena permintaan Dinda. Yah, permintaan Dinda. Sikap baik Darma ini hanya karena Dinda yang memintanya. Ia tak mungkin sebaik itu dalam sekejab mata kan? Lalu apa-apaan sekarang, Adara menjelek-jelekkan Dinda, pantaskan Darma marah?
"Lo pikir gue mau ngerawat lo suka-suka hah! Lo pikir gue sebaik itu? "
Adara mengerjapkan matanya ketika ia merasa matanya memanas. Tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir nya yang mulai gemetaran itu.
"Lo tau? Kalau bukan karena Dinda yang nyuruh gue buat nerima lo sama anak lo itu, lo pikir gue mau? " Darma menyisir rambutnya kebelakang dengan jari tangannya. Emosi jelas tergambar dengan di wajahnya.
"Gue bahkan nggak tau itu anak gue beneran atau nggak? Mengingat Reza juga ada di kejadian malam itu kan? " Kata Darma lagi agak berbisik.
Adara mengerjap sekali lagi, ia lalu memaksakan tawanya. " Iya juga sih, lo bener. Gue bahkan nggak tau ayah anak ini sebenernya siapa, lo atau Reza"
"Itu kan? Bangsat! Gitu lo masih mau nuntut banyak hal sama gue. Basi tau nggak Dar"
Adara terkekeh, tapi ia tak mau lagi menatap Darma, perempuan itu mengalihkan tatapannya.
"Cerai aja lah" Kata Adara setelah beberapa detik diam. Nada suaranya datar sekali, seolah ia tak mengatakan apapun tentang pernikahan mereka yang baru seumur jagung itu.
"Setelah lo ngehancurin citra keluarga gue, lo mau cerai gitu aja? "
"Jadi mau lo apa sebenernya Darma? Lo nyudutkan gue untuk sadar posisi tapi disaat yang sama lo nggak mau ceraiin gue"
Darma tertegun sejenak sebelum ia ikut mengalihkan tatapannya. Yah, karena faktanya ia pun sudah tak tau apa maunya. Ia benci Adara tapi mau perempuan itu tetap disisinya. Ntah lah rasanya semuanya sudah tak sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
-----
Note.
Gais paham nggak sih sama karakter Darma sama Adara disini. Mungkin kalian sadar kalau mereka ini terkesan plin plan banget. Sebentar-sebentar adu mulut, sebentar-sebentar apatis, tapi sebentar-sebentar juga saling memikirkan kedepannya satu sama lain.
Jadi kalau kalian notis itu, sebenernya kalian nggak salah wkwk.. Soalnya aku mau buat kalian paham kalau Adara sama Darma itu jahatnya setengah-setengah. Bencinya juga setengah-setengah. Jadi semuanya serba setengah-setengah. So, kalian jangan jenuh ya sama karakter mereka berdua.
Makasih uda mau baca.. Love you guys!

KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Romance17+ Adara membenci perlakuan keluarganya yang selalu mendahulukan adiknya. Ia hanya iri. Tapi tampaknya apapun alasannya, ia akan selalu terlihat jahat di mata keluarganya. Maka, tak ada salahnya menjadi jahat yang sesungguhnya kan? "Gue hamil" "Lo...