A3

2.2K 81 2
                                    

Darma bisa bernapas sedikit lega ketika ia mendapati kabar kalau Adara mungkin akan terlambat datang karena macet nya jalan di jam pulang ini. Walaupun terdengar klise karena ia dan Dinda pun baru saja melewati jalan yang dimaksud, namun ntah mengapa Darma mensyukurinya. Ia justru berharap Adara benar-benar tak hadir agar tak mengacau. Darma belum siap untuk itu.

" Gimana bisa kakakmu itu terjebak macet disaaat kamu sama Darma bisa lewat dengan lancar, alasannya saja" Gerutuan Adipto membuat Darma dan Dinda saling lirik.

"Kayak nggak tau Dara aja Pa, " Arvin menyahut, laki-laki itu lalu menoleh kearah Darma. " Maaf ya Dar, Dara ini memang kebiasaan kayak gini"

Darma tersenyum, memaklumi. "Nggak papa bang, "

"Jadi, kita mau nunggu kak Dara atau duluan aja nih pa? " Tanya Dinda lagi sambil melirik jam yang ada di ruang makan, ini sudah lewat sepuluh menit dari jam makan malam mereka.

"Tunggu sebentar ya Di, kakak mu nanti tersinggung kita tinggal" Kata Adipto menghela napas sebelum kembali menatap calon menantunya. " Darma nggak keberatan kan? "

Darma gelagapan, tentu saja ia keberatan. Ia ingin sekali acara makan malam ini cepat selesai dan ia tak bertemu Dara. Tapi tak mungkin ia mengatakan kejujurannya kan. Ia tentu saja menggeleng. "Nggak kok Pa, lagian makan malamnya jadi kurang lengkap kan kalau nggak ada kak Dara"

"Kak Dara? Dia masih lebih muda setahun dari kamu loh Dar" Kata Arvin tertawa.

Darma ikut tertawa pelan. "Tapi kan tetap bakal  jadi kakak ipar bang" Sahut Darma yang membuat mereka semua terkekeh.

"Itu ya resiko di langkahi si bungsu, " Arvin menatap adiknya. " Lo  sih, masih bocil uda mau nikah"

Dinda memberengut tak terima, " Aku bukan anak kecil lagi ya, bang. Abang aja yang ketuaan. Cari pacar sana sebelum jadi perjaka tua"

"Oh, kamu ya! Sini kamu" Arvin bangkit dari duduknya, hendak mengacak rambut Dinda seperti kebiasaannya.

"Papa, ih, lihat abang ini."  Dinda mengeluh, mencoba menangkis tangan abangnnya yang masih berusaha menyentuh rambutnya.

"Ck, kalian ini" Adipto menggeleng tak habis pikir.

"Sini kamu, bilang apa tadi hah"

"Ampun abang, jangan rusakin rambut aku! " Dinda merengek. "Sayang bantuin aku dong jangan ketawa aja."

Bukannya membantu, Darma justru kembali tertawa. Merasa lucu dengan interaksi kakak dan adik itu, sejenak ia melupakan kekalutannya tadi. Sejenak, yah, hanya sejenak, pasalnya semenit setelah itu suara langkah kaki terdengar mendekat yang membuat mereka menoleh keasal suara.

Dan.. Ada Adara disana. Khas dengan senyuman tipisnya dan ketika pandangan mereka bersirobok Darma bisa merasakan jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Ia panik!

---------

"Lama sekali, macet di daerah mana memangnya Dar? "

Adara mengedikkan bahunya tanpa menoleh kearah papanya. Sepenuhnya mengabaikannya.

Adipto yang mendapati respon itu pun menghela napasnya.  Sadar kalau si tengah masih marah padanya. Memang, semenjak ia menerima lamaran Darma untuk Dinda sikap Adara yang memang sudah dingin semenjak ia menolak Gio pun menjadi semakin dingin. Bahkan, ini adalah pertemuan pertama mereka setelah pertengkaran bulan lalu. Adara juga  tak turut hadir ketika pesta pertunangan Dinda dan Darma yang di gelar dua minggu lalu. Tingkah Adara ini sangat sulit di atur lagi olehnya dan lagi pun Adipto sadar kalau ialah yang membuat sikap putrinya itu seperti itu.

"Kakak mau ayamnya? Biar Di ambil kan ya"  Dinda menawarkan menu ayam sambal kesukaan kakaknya. Bungsu Mahendra itu pun berusaha menjaga sikap sebaik mungkin, kakaknya sedang patah hati dan iri dengannya, jadi ia mencoba untuk memaklumi semua perlakuan kasar kakaknya. Karena dulu pun, Adara tak pernah sekasar itu padanya.

"Nggak"

"Sepotong aja, kakak kan cuma makan bayam aja, nanti kakak nggak kenyang" Kata Dinda, pasalnya Adara memang hanya mengambil menu bayam tumis dari semua masakan rumahan yang disediakan. Tak biasanya Adara begitu,  karena biasanya ia adalah maniak daging ayam yang seperti tak pernah bosan dengan dagingnya.

"Gue bilang nggak ya nggak, tuli lo ya" Adar menyentak.

Dinda diam, menurunkan piring ayam sambal yang tadi ia pegang ke tempat semula, menghela napas sebelum kembali duduk. Darma yang melihatnya pun berdecih dalam hati. Adara ini definisi iblis yang nyata, bagaimana bisa perempuan itu menolak kebaikan keluarganya?

"Jangan kasar begitu Dara, kalau tidak mau jangan membentak. Di kan hanya menawarkan" Kata Adipto mencoba menekan ego, laki-laki tua itu mencoba belajar dari kesalahan. Adara ini akan semakin kasar jika ia bertindak hal yang sama.

Adara diam.  Tak menyahut seolah ia tak mendengar suara apapun itu. Arvin yang sejak tadi bungkam mengepalkan tangannya. Adara sudah mulai keterlaluan.

"Dara" Arvin menegur.

"Udah lah Vin, biarkan saja, mumpung Dara mau pulang" Kata Adipto lagi, ah. Tampak si tua ini mulai trauma dengan pertengkaran di meja makan ntah juga segan dengan calon menantunya.

"Ambilin gue minum! " Mengabaikan papa dan abangnya, Adara justru memerintah Darma seenaknya. Menunjuk gelaa yang bahkan tak begitu jauh dari jangkuannya sendiri.

"Ah, " Dinda melirik kekasihnya tak enak hati. "Biar Di saja yang ambilkan ya kak" Dinda kembali bangkit dari duduknya.

"Gue nyuruh tuh cowo brengsek buat ambilin gue minum, bukan lo"

"Dara! " Kali ini Arvin tak bisa dicegah. "Apa-apaan kamu menyebut Darma seperti itu"

"Memang iya kan? Lagian apa sih susahnya ngambilin minum. Nggak boleh"

"Ck, keterlaluan kamu! "

"Ambilin Darma! " Adara kembali menatap Darma, membentak.

Darma diam, tapi ia bangkit dari duduknya untuk melaksanakan oerintah Adara sekalioun dadanya bergemuruh marah dan juga panik disaat yang bersamaan.

"Jangan sayang, biar aku aja"

"Jangan Dar, biar dia ngambil sendiri, nggak punya sopan santun! " Arvin membentak marah.

"Ngapain lo duduk Darma! Ambilin gue minum gue bilang! " Adara menatap Darma marah.

"Adara! "

"Kak! "

"Dara! "

Ketika anggota Mahendra yang lain itu menegur Adara secara serentak. Adara sendiri bukannya takut, ia justru memutar bola matanya malas.

"Duduk Darma, Dara ini mulai keterlaluan. " Adipto habis kesabaran. " Dara, Darma itu tamu kita, hormati dia"

"Apa gue peduli" Tanya Adara santai.

"Harus! Dia itu calon suami adikmu, dengan sikap semena-mena mu itu bukan cuma menyakiti harga diri Darma tapi juga menyakiti hati adikmu. Kamu itu kakaknya, seharusnya kamu bisa menjaga perasaan adikmu. " Adipto menasehati yang sama sekali tak dicerna oleh Adara, perempuan itu terlalu mals untuk mendengarkan omomg kosong semata.

"Lagian, apa susahnya kamu mengambil minummu sendiri Nak, papa tau kamu marah karena papa menolak lamaran Gio, tapi kamu seharusnya sudah dewasa untuk menyikapinya. "

Dewasa menyikapinya? Apa si tua ini tak tau rasa sakitnya ditinggal oleh orang yang di cintainya karena penghinaannya. Dimana nurani papanya ini sebenarnya? Ia yang tak bisa menyikapinya atau papanya yang semena-mena. Adara mendengus sambil mengepalkan tangannya, emosinya sudah akan meledak kapan saja.

" Tak seharusnya kamu memperlakukan calon suami Di seperti itu, minta maaf sama Darma sekarang"

"Dan nggak seharusnya seorang calon ayah menolak permintaan anaknya kan Pa? " Adara menyahut. Semua mata memandangnya tak paham kecuali Darma yang sudah merasakan tubuhnya kaku.

"Apa maksudmu? "

"Aku cuma ngidam untuk diambil air minum sama calon ayah anak ku, apa aku salah? " Tanya Adara mencoba selugu mungkin dan semua orang seolah merasakan batu besar menghantam kepala mereka.

Adara hamil? Anak Darma? Bagaimana mungkin?

AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang