"Kamu kenapa sih dari semalam ngelamun aja, aku ada salah? " Tanya Dinda pada Darma serius.
"Ah, ngelamun? Siapa? Aku nggak kok sayang." Darma menggeleng, ia lalu menghela napas dan mulai mengambil sumpit untuk melanjutkan acara makannya. Ah, ya, mereka sekarang sedang berada di restoran Jepang untuk makan siang. Awalnya niatan itu hanyalah alasan Dinda saja agar bisa mengobrol berdua dengan Darma secara santai, pasalnya beberapa hari ini Darma sangat sulit di hubungi. Laki-laki itu seperti menyimpan masalah yang sulit dijabarkan. Jadi, Dinda berusaha membuat suasana yang nyaman agar Darma mau berbagi cerita seperti sebelum-sebelumnya. Tapi bahkan, saat makanan mereka sudah hampir habis sekalipun Darma tak juga bersuara. Justru malah lebih banyak diam dan melamun. Hal itu tentu saja membuat Dinda kesal. Darma tak biasanya seperti ini.
"Kamu ada masalah? " Tanya Dinda lagi menuntut.
"Aku, nggak" Darma menggeleng. Tetap memakan sushi-nya tanpa mau menatap Dinda.
"Kamu bohong! " Dinda membantah. "Kamu jelas ada masalah, Darma lihat aku kalau aku ngomong! " Dinda menyentak, menahan tangan Darma yang akan mengambil tempura udang padahal jelas-jelas laki-laki itu alergi. Darma ini seolah berusaha melakukan kegiatan agar tak di tanyai oleh Dinda, dan sayangnya Dinda hapal dengan tabiat tunangannya itu.
Meletakkan sumpitnya, Darma lalu menatap kekasihnya. Jujur ada perasaan tak nyaman yang sulit Darma diskripsikan ketika melihat Dinda. Perasaan itu, seperti perasaan malu. Malu dengan rahasia yang berusaha ia tutup-tutupi. "Maaf" Ucapnya pelan.
Dinda melemaskann tubuhnya, seolah berusaha memendam emosinya yang tadi sempat terpancing. "Aku yang seharusnya minta maaf karena uda bentak kamu kak, " Dinda ikut menunduk.
Darma tersenyum, panggilan itu sudah lama tak ia dengar, semenjak mereka menjadi kekasih di akhir tahun masa SMA nya dulu, Darma memang meminta Dinda untuk memanggilnya tanpa embel-embel kakak karena ia selalu merasa menjadi senior Dinda setiap bertemu. Tak terasa itu sudah tujuh tahun yang lalu ya. Ah, betapa manisnya kisah mereka dulu.
"Kan, kamu ngelamun lagi. " Dinda memprotes, sedangkan Darma tergelak. Merasa lucu dengan ekspresi Dinda.
"Maaf sayang, aku lagi nostalgia sedikit. Uda lama ya kamu nggak manggil aku kakak" Darma mencoba mengalihkan pembicaraan.
Dinda tersenyum, seolah mengingat betapa lama panggilan itu tak ia ucapkan lagi. " Iya ya, uda lama banget, terakhir pas hari kelulusan mu dulu kan"
Darma mengangguk, membenarkan.
"Padahal kamu lebih tua dua tahun dari aku, tapi tetep nggak mau di panggil kakak. Sok muda"
"Lah, aku kan memang kelihatan muda"
"Narsis,"
Darma tertawa, "Nggak ya, kan biar keliatan akrab"
"Halah, bilang aja kamu malu kan kalau sampai ketauan macarin aku yang masih piyik dulu. Jadi kamu nyuruh aku manggil nama kamu biar kita keliatan sebaya" Dinda menuduh, memicingkan matanya main-main.
Darma mengangguk dengan tawa yang tak lepas. "Mana iya lagi, duh kita dulu lucu kan? Jadi kangen masa-masa itu"
Dinda mengangguk. " Iya, tapi kan nantinya kita bakal kayak gitu juga, justru petualangan kita bakal lebih lucu dan lebih seru nantinya. Kita bakal nikah dan sama-sama terus. Ck, aku jadi nggak sabar nunggu episode kehidupan kita selanjutnya bakal sebahagia apa. Ya kan? "
Darma menghentikan tawanya yang tadi masih tersisa, bahkan senyumannya meluntur. Ia lalu seolah kembali di ingatkan kenyataan. Ah, apa kisah mereka memang akan lebih membahagiakan nantinya? Atau justru sebaliknya?
-----
"Dah, aku masuk dulu ya, nanti jangan lupa jemput," Dinda mengingatkan ketika ia akan turun dari mobil.
"Iya, jam lima kan? "
Dinda mengangguk tapi sedetik kemudian menggeleng. " Jam setengah enam aja, hari ini aku ada janji temu sama klien, mau bahas kue pernikahan jadi kayaknya bakal lama"
Darma mengangguk mengerti, Dinda memang bekerja dan terjun langsung di toko kue milik almarhum mamanya. Toko kue itu juga sudah besar dan berkembang pesat semenjak maraknya pengguna media sosial akhir-akhir ini. Jadi Darma sudah biasa dengan hal-hal di luar rencana seperti ini.
"Oke, Noted. Aku bakal jemput jam setengah enam. Oya makasih tadi uda ajak aku makan siang bareng ya, sayang. Pikiran sumpek ku uda hilang ntah kemana." Darma mengelus rambut Dinda yang membuat senyum perempuan itu mengembang.
"Sama-sama, makasih juga uda traktir aku jajan tadi." Dinda tersenyum kian lebar, senang karena sempat di ajak membeli banyak camilan setelah mereka makan siang.
"Iya sayang, besok kita kayaknya harus main lagi deh. Sumpek kan kerja terus? Uda lama juga kita nggak main kan? "
Dinda mengangguk. "Iya, nanti kita atur jadwal lagi ya"
Darma tersenyum, mengangguk. " Yaudah, gih masuk nanti Cecil sama Anin keteteran. "
Dinda segera turun dari mobil setelah sekali lagi Darma mengusap rambutnya. " Dah"
Darma ikut melambaikan tangannya. " Dah, sayang"
Begitu Dinda hilang dari pandangannya, senyuman Darma pun menghilang. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Merasa begitu lelah karena sejak makan siang tadi berusaha terlihat baik-baik saja. Rasa bersalah yang menghantuinya pun membuat energinya seperti terkuras dua kali lebih banyak. Memikirkan bagaimana kedepannya hubungannya dengan Dinda dan juga bagaimana kedepannya ia dan Adara juga.. Tentang anaknya. Ah, kepalanya terasa akan pecah sekarang.
Tok
Tok.
Darma mengerjapkan matanya, melihat kaca mobilnya di ketuk dua kali. Itu Dinda.
"Loh sayang, kenapa? " Tanyanya menurunkan kaca mobil. " Ada yang ketinggalan? " Darma sudah akan membuka pintu mobil ketika Dinda menahannya.
"Nggak usah di buka, aku cuma mau bilangin kamu aja. Nanti malam papa ngajak makan bareng di rumah. Kamu datang ya"
"Makan bareng? Sama papa? "
"Iya, sama kakak-kakak ku juga, jadi nanti kamu jemput aku setelah berberes aja, aku juga bakal siap-siap di toko aja ya"
Darma merasakan dadanya bergemuruh. Suara Dinda serasa tak masuk kependengarannya. Bersama kakak kekasihnya itu sama saja dengan bertemu Adara kan? Bayangan ancaman Adara semalam terbayang di kepalanya. Bagaimana jika perempuan itu membongkar segalanya. Oh Tuhan, Darma tak pernah sekalut ini sebelumnya.
"Sayang"
"Y-ya"
"Jangan lupa ya"
"O-oke" Darma mengangguk.
"Yaudah, aku masuk ya, kamu juga cepet balik gih jam makan siang uda habis lima menit yang lalu"
Darma mengangguk. Ia lalu kembali mengucap salam perpisahan sebelum menghidupkan mesin mobil dan meninggalan pelantaran toko kue Dinda masih dengan perasaan yang sama.
-----
Lain halnya dengan Darma yang yang kalut, Adara justru sebaliknya. Selesai dengan salah satu tugas dari pekerjaan lepasnya sebagai freelance. Senyumannya langsung mengembang ketika membaca pesan papanya di grup keluarga yang mengajaknya untuk makan malam bersama. Bukan acaranya yang membuatnya senang, namun satu baris kalimat yang dikirim adiknya yang meminta izin mengajak Darma untuk turut hadir.
Wah..
Tidak kah ini adalah kesempatan emas untuknya?
Adara tersenyum semakin lebar. Ah.. Ia tak sabar untuk segara malam tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Romance17+ Adara membenci perlakuan keluarganya yang selalu mendahulukan adiknya. Ia hanya iri. Tapi tampaknya apapun alasannya, ia akan selalu terlihat jahat di mata keluarganya. Maka, tak ada salahnya menjadi jahat yang sesungguhnya kan? "Gue hamil" "Lo...