Sudah lama sekali Darma tak pulang. Adara bahkan sudah tak mengingat berapa lama laki-laki itu pergi. Namun yang pasti sejak pertengkaran mereka waktu itu, Adara tak pernah sekalipun tau kabar Darma. Namun ntah lah Adara pun sebenarnya tak begitu peduli. Ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk menyibukkan dirinya untuk kesembuhan batinnya. Mungkin kalimat itu terdengar begitu dramatis, tapi pada kenyataannya memang begitulah Adara. Ia tak sekuat itu. Apalagi jika ia duduk diam sendirian. Pikirannya berkelana dan selalu menuntunnya untuk mengakhiri hidupnya. Dan Jujur, itu sangat menyakitinya.
Seperti siang ini, Adara kembali meletakkan pisau yang tadinya hampir menyentuh pergelangan tangannya. Memejamkan matanya beberapa detik, Adara berusaha mengembalikan kewarasannya. Ia terus menyugesti dirinya untuk tetap hidup seraya mengumpulkan alasan-alasan yang membuatnya bertahan. Walaupun alasan itu mungkin terdengar sangat jahat. Seperti, Ia ingin hidup untuk membuat Dinda menderita atau ia ingin terus hidup untuk melihat Darma termakan karmanya.
Yah.. Untuk melihat itu semua ia harus tetap hidup kan?
"Aku bisa gila kalau diem aja disini, aku mau keluar" Adara bergumam, kakinya melangkah cepat, meninggalkan dapur dengan terburu membiarkan tempat pisau yang jatuh ke lantai ketika ia pergi. Adara tak mau membersihkannya. Ia takut hilang kendali lalu kembali menyakiti dirinya sendiri.
Tangan yang memiliki goresan-goresan kecil itu menyentuh jaket Darma yang tergantung di belakang pintu. Sedetik kemudian ia hanya mematung, menatap jaket berwarna hitam yang masih berada di genggamannya. Adara menghela napas. Ia mengingat Darma.
Ah, ia memang tak peduli dengan Darma, namun tampaknya tidak begitu dengan janin dikandungannya. Ia tetap butuh kehadiran ayahnya. Iya kan? Ck, Adara menggeleng, menghilangkan pikiran acaknya itu, ia memakai jaket itu tanpa berpikir dua kali.
Adara melangkah pergi.
----------
Adara mengernyit ketika olahan daging sapi itu masuk kemulutnya. Rasanya aneh sekali, hampir sebulan tak makan daging ternyata membuat lidahnya merasa aneh dengan daging kesukaannya itu. Masakan beef slice lada hitam yang biasanya sangat menjadi favoritnya itu kini terasa bertentangan dengan lidahnya. Namun, tampak nya Adara tak mau menyerah. Ia masih berusaha untuk menghabiskannya.
"Rara"
Adara yang sedang fokus pada makanannya itu langsung mendongakkan kepalanya ketika mendengar panggilan yang sudah lama tak ia dengar. Panggilan kesayangan seseorang yang dulu juga menjadi bagian dari favoritnya.
Itu suara Gio.
Kekasihnya.
"Gio? " Adara membeo, masih tak menyangka kalau laki-laki berkaos polo itu memang Gio.
"Ya.. Nggak mau peluk? Aku uda bayar mahal buat masuk keruangan ini loh "
Adara terekekeh tapi matanya berkaca-kaca. Ia lalu melepaskan semua alat makannya, bangkit dan langsung masuk dalam pelukan erat kekasihnya.
"Uh, kangen banget ya"
Adara tak menjawab, tapi pelukan eratnya telah menjawab semuanya. Betapa ia sangat merindukan laki-laki ini.
"Eh, kok nangis? " Gio langsung melepas pelukannya, memberi jarak antara ia dan Adara. " Kenapa nangis, hm? " Tanyanya mengusap pipi Adara yang mulai basah.
Adara menggeleng. "Kamu kemana aja? Kenapa nggak pernah jumpain aku? Katanya kamu mau berjuang buat dapet restu Papa, tapi kamunya bohong—" Adara menghentikan kalimatnya, napasnya agak sedikit tersendat. Ia sedang berusaha sekuat mungkin untuk tak menangis keras sekarang.
Gio menghela napas, ia lalu menepuk-nepuk kepala Adara. Pandangannya yang teduh dan senyumnya yang lembut membuat Adara semakin merasa hatinya sakit. Sama sepertinya Gio pasti juga sedang berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Romance17+ Adara membenci perlakuan keluarganya yang selalu mendahulukan adiknya. Ia hanya iri. Tapi tampaknya apapun alasannya, ia akan selalu terlihat jahat di mata keluarganya. Maka, tak ada salahnya menjadi jahat yang sesungguhnya kan? "Gue hamil" "Lo...