A8

2K 83 3
                                    

Suara  musik Bar yang agak berisik dan sangat diluar selera bermusiknya itu ntah mengapa malam ini justru terdengar sebaliknya. Terdengar tenang dan seolah membuatnya terlena. Dinda—perempuan berkaos putih itu duduk termenung dimeja Bar sendirian. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali sejak sejam yang lalu, terkecuali ketika ia memesan dan mengucapkan terima kasih pada Bartender yang melayaninya.

"Malam Cantik! "

Panggilan itu tak Dinda hiraukan sekalipun ia tau kalau memang ialah yang disapa oleh laki-laki yang duduk disebelahnya. Laki-laki berperawakan tinggi, namun tak setinggi Darma. Ah, lagi Dinda mengerang,  bagaimana bisa ia masih  membanding orang lain dengan Darma bahkan disaat kesadarannya sendiri sudah hampir hilang.

"Sombong banget, lagi patah hati ya? "

Dinda menggeleng, tapi ia tak dapat mengelak ketika matanya yang basah seolah telah menjelaskan semuanya. Laki-laki yang tadi bertanya pun mengangguk mengerti. Bar memang tempat paling tepat untuk mereka-mereka yang kehilangan arah.

"Nangis aja lagi, gue cuma numpang duduk"

Hening, Dinda tetap tak bersuara, namun semenit kemudian ia benar-benar menangis. Bahunya bergetar dengan suara isakan yang terdengar jelas.

"Mau minum? "

Dinda menggeleng, tapi tangisannya perlahan mereda.

"Oya, gue Reza"

Dinda masih tak merespon. Ia justru memalingkan wajahnya.

"Lo calonnyaa Darma kan? Ah, maksud gue mantannya Darma" Reza tertawa canggung.

Dinda langsung menatap Reza, dahinya mengernyit. "Kamu kenal Darma? " Tanyanya serak.

Reza menggeleng. "Sekedar kenal sih, tapi gue kenal deket sama kakak lo"

Dinda kembali menunduk. " Tau dari mana kalau aku ada hubungan sama mereka berdua"

Reza menyisir rambutnya, agak bingung. Tampaknya laki-laki itu menyelasi mulutnya yang terlalu sok akrab. "Lo mirip Dara"

"Kami bahkan gak mirip sedikitpun. Dia mirip mama dan aku nggak"

"Oh" Reza gelagapan. " Intinya gue kenal Dara dan gue tau lo tunangan Darma karena kami temen"

"Tau darimana juga kalau aku uda nggak sama Darma? "

Reza berdehem. " Gue kira kalian memang uda batal tunangan bulan lalu"

"Kami bahkan baru putus dua hari yang lalu" Dinda tertawa, " Ternyata hubungan mereka uda sejauh itu ya? " Dinda mengusap air matanya. Dadanya terasa kian sesak, bagaimana bisa Darma mengkhianatinya sedalam itu. Jika sebulan yang lalu saja Reza sudah bisa berspekulasi demikian itu artinya selama sebulan ini Dinda hanya dibodohi saja oleh keduanya?

"Sorry" Reza merasa kian bersalah. Tapi sungguh, jika memang Dinda dan Darma baru putus dua hari yang lalu itu berarti ketika Adara mengajak Darma menginap di hotel setelah pesta Bram waktu itu mereka memang sedang selingkuh?

"Ngapain minta maaf,  uda kejadian juga. Mereka bahkan uda mau punya anak" Isak Dinda terbata dan Reza semakin masuk kedalam penyesalannya. Ah, seharusnya ia tak usah ikut campur masalah ini. Sial ia harus bagaimana sekarang?

————

Adara mengerang, kepalanya terasa sangat pusing. Tapi cahaya matahari dan alarm yang terus berdering dari ponselnya membuat nya mau tak mau bangun juga.

"Ck, bangsat! " Adara memaki, mematikan alarm dan menggeser benda pipih itu menjauh dari tubuhnya. Ialu menghela napas, menatap langit-langit kamar yang terlihat asing di matanya. Lalu sebuah ingatan membuatnya kembali menghela napas berat. Ia berada di rumah Darma.

Lima menit dalam keterdiaman akhirnya Adara mulai menggerakkan tubuhnya, berjalan terhuyung ke kamar mandi. Membasuh wajahnya berulang-ulang dengan harapan agar kepalanya yang pusing mereda. Namun ternyata ia salah. Rasa pusing itu semakin menjadi bahkan ketika ia hanya menundukkan kepalanya sedikit untuk menyentuh air di wastafel. Meremat kepalanya, Adara bersandar kedinding kamar mandi, tak sanggup menunduk lama-lama.

Adara menatap wajahnya yang tampak sayu di tampilan kaca wastafel. Tersenyum kecut ketika ia mulai mencoba membisakan diri untuk menerima rasa pusing ini. Yah, sejujurnya hal seperti ini sudah mulai Adara rasakan seminggu terakhir, lebih tepatnya setelah ia sadar kalau ia hamil minggu lalu. Dan Adara tak bodoh untuk tak mengetahui kalau rasa pusing itu adalah bagian dari kehamilannya.

Atau yang sering Dokter sebut sebagai gejala morning sickness. Yah, walaupun Adara belum pernah muntah dan mual seperti gejala umumnya, tapi rasa pusing dan gampang ngantuk sudah mulai ia rasakan di minggu ini.

"Kalau bukan karena sakit hati gue sama Dinda, gak mungkin gue pertahanin lo diperut gue" Adara bergumam, tangannya meremas pakaian depannya. Nadanya penuh sakit hati, seolah bayi itu memang hanya sekedar alat untuk rasa bencinya.

"Kalau sampai setelah semua pengorbanan gue hamil lo ini dan lo nggak bisa juga ngikat Darma untuk terus disisi gue, gue janji, gue sendiri yang bakal ngasih minum racun ke mulut lo itu" Lagi, Adara bergumam sebelum ia kembali berpegangan pada dinding kamar mandi. Ia ingin kembali tidur. Sial. Anak Darma ini sama saja menyebalkannya seperti Darma.



----

Haii.. Gimana alurnya sejauh ini, apa kalian uda bisa masuk kedalam ceritanya?

Yuk sapa aku di komentar! Hihi

AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang