" Dara" Darma menjawil lengan Adara ketika perempuan itu tak juga lekas bangun. Padahal sudah lima belas menit mereka sampai di parkiran apartemen. Tapi perempuan itu justru semakin menyamankan diri tidur dikursi mobil.
"Dara, bangun" Darma kembali menjawil lengan Adara, dirasa tak mendapat respon laki-laki itu pun memutuskan untuk menggoyangkan lengan Adara yang masih memeluk jaketnya.
"Dara"
"Hn" Dara bergumam tapi matanya tak terbuka sedikit pun.
Darma mengela napas berat sebelum ia akhirnya mengambil keputusan, ia akan menggendong Adara sekarang.
"Sstt" Darma berdesis pelan saat Adara agak terganggu ketika ia bawa kepelukannya. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mendorong pintu mobil dengan sangat lembut.
"Hm.. " Adara yang merasa sinar matahari menganai matanya pun bergerak tak nyaman sambil semakin menempelkan wajahnya ke lengan Darma.
"Sorry Dar" Darma bergumam sambil melangkah lebih cepat. Dalam pikiran laki-laki itu hanya bagaimana caranya ia membawa Adara tanpa harus menganggu tidur perempuan itu.
-------
"Sstt" Darma berdesis, menepuk-nepuk lengan Adara agar perempuan itu kembali tidur dengan nyaman. Sedangkan ia sendiri duduk dengan nafas terengah, cukup lelah menggendong Adara dari lobi sampai masuk ke apartemen.
"Em," Adara bergumam tak nyaman, tangannya menggapai-gapai sisi sebelahnya, seperti mencari sesuatu, sampai ketika jaket yang Darma berikan dimobil tadi ia dapatkan. Perempuan itu langsung saja membawanya kepelukannya, menciumnya sebelun kembali tidur lebih pulas. Darma sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya. Sebenernya Adara ini memnag butuh kehadirannya atau hanya sekadar mengakali nya agar ia percaya kalau anak itu memang anaknya? Tapi.. Apa mungkin di kesadaran yang menurun pun masih bisa membohonginya? Itu.. Tak masuk akal jika kan?
Menggelengkan kepalanya, Darma memutuskan untuk bangkit dari duduknya, ia melangkah ke sudut kamar. Dimana meja kerjanya berada. Mengeluarkan tabletnya Darma berniat untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena ia harus kerumah sakit tadi. Namun laki-laki itu justru termenung ketika ingatan menganai hasil pemeriksaan Dokter tadi. Apa Bayi itu.. Benar-benar bayi nya? Darma merasakan dadanya bergemuruh untuk alasan yang tak mau ia akui.
-------
Adara terbangun sekitar pukul tiga sore, perempuan hamil itu menoleh kanan-kiri, agaknya bingung kenapa ia bisa berada di dalam kamar karena seingatnya ia masih di dalam mobil sepulang dari rumah sakit. Ah, apa Darma yang memindahkannya? Dari lantai bawah? Sungguh? Tapi mengapa ia tak terbangun sedikit pun. Ah, ntah lah Adara mencoba untuk tak peduli sekalipun sebenarnya rasa penasaran masih bertengger di pikirannya.
"Masih mual? "
Adara reflek menoleh ketika suara Darma masuk ke pendengarannya. Ternyata laki-laki itu berada di sudut kamar, tempat dimana meja kerja yang sudah berdebu berada. Adara tak begitu memperhatikannya tadi.
"Mau minum? "
Adara menggeleng, masih agak linglung.
"Emangnya lo tidur hampir empatan jam nggak haus? "
Lagi, Adara menggeleng. " Haus, tapi nanti gue ambil sendiri"
"Nggak usah, biar gue yang ambilin, lo juga pasti laper kan? Sebenetar lagi makanannya dateng"
Adara menaikkan alisnya. " Kenapa lo berubah jadi baik gini? Lo mau bunuh gue ya? "
Darma memutar bola matanya. "Dih, apa gunanya buat gue? Organ lo juga kayaknya nggak bakal laku di jual. Uda tercemar"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Roman d'amour17+ Adara membenci perlakuan keluarganya yang selalu mendahulukan adiknya. Ia hanya iri. Tapi tampaknya apapun alasannya, ia akan selalu terlihat jahat di mata keluarganya. Maka, tak ada salahnya menjadi jahat yang sesungguhnya kan? "Gue hamil" "Lo...