A0

5.1K 122 0
                                    

Hujan turun deras malam ini, petir dan embusan angin kencang bahkan terdengar sangat berisik di luar, membuat tubuh Adara merinding karena cuaca memang segelap dan sedingin itu.  Ditambah suara rintikan hujan di luar sana terdengar seperti lulabby tidur yang mengenakkan. Ah, memikirkan itu Adara jadi mengharapkan dirinya untuk tidur saja sekarang. Tapi lain halnya dengan Adara yang ingin segera tidur, keluarganya justru sebaliknya. Keluarga bermarga Mahendra di ujung namanya itu justru tetap mengharuskan anggota nya makan malam bersama. Tak peduli kalau bahkan suasana sedang tak mendukung untuk sekedar bangkit dari tempat tidur.

  "Jadi, kapan Darma dan keluarganya datang untuk melamar kamu secara resmi Di? " Pertanyaan bernada bahagia itu dilontarkan oleh sang kepala Keluarga. Sejenak acara makan itu terhenti karena semua orang kini berfokus pada gadis muda yang baru saja di tanya. Adinda namanya.

"Lamaran resmi? Wah? " Arvin— si sulung Mahendra menatap adik bungsunya kaget. " Memang Darma uda lamar kamu Di? "

"Uda, tadi sore Dinda uda cerita sama papa. Itu sebabnya kita kumpul sekarang, " Adipto—si kepala keluarga— kembali menyahut. Raut bahagia tak bisa di elakkan dari wajah tuanya.

"Beneran Di? " Tanya Arvin lagi, masih tak menyangka kalau bungsu kesayangan mereka akhirnya di lamar oleh kekasihnya.

Adinda yang di tanyai begitu pun mengangguk malu-malu, pipi tembamnya memerah karena salah tingkah. Yah, Darma memang melamarnya semalam malam. Lamaran sederhana di saat mereka makan malam. Namun, berhubung ia dan Darma semalam berada di kota yang berbeda maka lamaran itu baru bisa ia ceritakan sore tadi pada sang ayah. Lalu tanpa di duga ayahnya langsung memintanya pulang dan mengumpulkan kedua kakaknya untuk kembali membahasnya.

"Kok Papa nggak ada bilang? Darma nggak izin papa dulu apa? " Tanya Arvin lagi, sedikit banyaknya merasa bingung dengan kabar ini.

"Uda, uda lama izinnya. Tapi baru dilaksanakan sama si Darma" Jawab Adipto sambil tetap menatap bungsunya suka cita.

"Tapi nanti dia mau datang kerumah juga kok sebelum bawa orang tuanya. Katanya mau minta izin langsung ke papa sama abang dulu sebelum acara resmi nya, " Adinda menambahkan.

Arvin mengangguk, laki-laki akhir dua puluhan itu lalu mengucapkan selamat pada Adinda. Menyempatkan diri bangkit dari kursinya hanya untuk mencium kening adiknya sebagai uangkapan bahagia.

"Dara? "

"Hm? " Adara mendongak, menatap ayahnya dengan salah satu alis naik. Tak ada sopan santunya sama sekali.

"Nggak kasih selamat ke Dinda? "

"Aku? " Adara menunjuk dirinya. "Ngasih selamat gimana? Uda di lamar ya uda jadi mau diapakan? "

Senyuman yang awalnya mengembang di tiga orang yang tadi saling berbincang itu memudar. " Dara, apa salahnya kasih ucapan selamat ke adikmu. Kamu ini masih aja"

Adara memutar bola matanya, tak menanggapi secara lebih teguran itu. Ia lebih memilih kembali menyuapkan makanannya. Sepenuhnya abai.

"Dara!" Kali ini Arvin yang menegur. Ia memang sudah jengah sekali dengan tingkah si tengah ini. Sikapnya sangat menjengkelkan.

"Adara!" Bentak Arvin lagi.

Meletakkan sendok makannya kasar, Adara mendongak. "Apa? "

"Kasih selamat ke Dinda, kamu ini jangan selalu abai kayak gitu. "

Cih, Adara berdecih pelan ketika melihat Adinda yang kini juga menatapnya penuh harap. Adara  benci itu. Adinda ini selalu bisa membuatnya dengki tanpa alasan.  "Yah, selamat uda di lamar sama cowok kaya raya . Hebat sih lo bisa cari cowok kayak Darma. Punya segalanya sampai buat Papa kita bahkan sebahagia itu. Nggak kayak gue ya kan? Cowok gue harus pergi karena ego kalian"

"Dara! " Kali ini Adipto yang membentak. Menatap anak tengahnya itu dengan nyalang. " Apa-apaan kamu ini! "

"Memang iya kan? "

"Kak" Adinda menyentuh lengan Adara, mencoba menghentikan perdebatan yang pasti akan terjadi sebentar lagi.

" Kamu ini makin nggak ada sopan santunnya. Minta maaf sama papa" Arvin menyentak.

Adara menepis tangan Adinda, lalu menatap ayah dan abangnya bergantian sebelum kembali bersuara. "Memang iya kan? Kalian yang buat Gio pergi. Kalian yang buat pernikahan ku batal. Gila harta kalian tau nggak?"

"Kamu! " Adipto menunjuk anak tengahnya marah. "Siapa yang kamu bilang gila harta hah? Gio itu memang nggak pantes sama kamu. Papa nyekolahin kamu tinggi-tinggi bukan untuk jadi pembantunya bajingan itu, kamu tau itu. Dia pergi itu karena dia sadar diri, tau kamu!"

"Nggak pantes? Apanya yang nggak pantes pa? Demi Tuhan Pa, kami uda mau nikah sebelum papa ngehancurin semuanya"

"Kak Dara—

" Diem lo anjing! Muak tau gue denger suara lo. Jangan sok lugu lo. " Adara menatap adiknya yang kini mengkerut kaget.

"Dara apa-apaan kamu"

Adara menatap Adinda nyalang. Rasa marah dan kebencian yang selama ini ia coba tahan terasa mendesak di dadanya. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.

"Bela terusa, Bela! Kalian berdua itu sadar nggak sih. Aku tuh cuma beda setahun sama Dinda. Tapi kalian semua-semua harus Dinda dulu. Semua-semua harus dia dulu. Kalian pikir aku nggak iri? Kalian pikir aku baik-baik aja? Hah? "

Adara lalu melirik abangnya sebelum kembali menatap papanya. " Semua yang aku lakuin kayaknya salah ya? Aku mau nikah aja kalian halangin, nggak sesuai standar keluargalah, terlalu miskin lah, gak sebanding lah. Tapi coba Dinda yang lakuin itu. Cuma karena Dinda punya pacar yang lebih kaya dari kita kalian bisa menyambut Darma sesuka cita itu? Gimana dulu sama Gio? " Adara menghapus air matanya yang jatuh.

"Sakit tau nggak sih pa dibanding-bandingin gitu? Aku cinta Gio loh. Gio juga secinta itu sama aku. Tapi kalian nggak nerima lamarannya dan hina dia sekeji itu. Tapi bahkan ini-" Adara mengusap wajahnya.  "Demi Tuhan Pa, Gio baru papa tolak lamarannya dua bulan lalu karena alasan nggak jelas, terus sekarang papa terima lamaran Darma gitu aja. Papa punya hati nggak sih? "

"Darma lebih mapan dari Gio Dara, kamu ini jangan buta hati"

Adara menganggukkan kepalanya. "Iya, Darma lebih mapan dan lebih kaya ya kan pa, dia bisa bantu perusahaan papa yang hampir bangkrut itu ya kan pa? Kalau memang gitu, kenapa nggak papa jual aja sekalian anak bungsu papa itu ke laki-laki hidung belang yang jelas lebih kaya dari Darma ya kan? Untung papa kan lebih besar ya kan? "

"Dara" Geram Adipto melangkah mendekati Adara sebelum tangannya menganyun dengan enteng ke pipi anak tengah nya itu. Suara keras tamparan itu terasa menyakitkan.

Adara memegang pipinya, telinganya terasa berdengung karena pipinya kebas.

"Kamu! Dinda itu adik kamu Dara! "

Adara menunduk. "Cuma beda setahun. Dia adikku beda setahun. "

"Tapi dia tetap adikmu, "

"Apa menurut papa karena aku lebih tua setahun dari dia aku harus selalu ngalah? Papa pikir apa karena usia ku setahun lebih tua dari dia aku harus terima di dahului semuanya? " Adara menatap papanya nyalang. "Kalau aku nggak bisa nikah sama Gio, Dinda juga nggak bakal bisa nikah sama Darma"

"Kak-"

"Papa pegang kata-kataku ini. Kalau papa tetap nikahkan Dinda sama Darma , aku bakal hancurin anak bungsu papa itu sampai dia sehancur aku yang gagal nikah karena ego papa itu. Aku janji pa. Papa inget itu" Adara mengepalkan tangannya sebelum pergi dari ruang makan, meninggalkan tiga orang sisanya yang kini saling diam. Gemuruh petir diluar seolah sedang menjelaskan bagaimana susasana hati mereka semua. Besirik dan kacau.

AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang