_____
Pagi itu, Hera membuka mata dengan perasaan yang lagi-lagi aneh. Bukan sedih, bukan juga marah. Lebih ke… kosong. Seolah semua suara di dunia diredupkan, dan semua warna kehilangan warnanya. Rasanya seperti hidup di dalam ruang hampa ada, tapi tidak benar-benar hadir.
Ia memandangi langit-langit kamarnya. Putih. Biasa. Seperti hari-hari sebelumnya. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak ada alasan untuk bangun. Tidak ada hal yang ingin dituju. Tidak ada yang menunggunya.
Tapi tetap saja, ia bangun. Karena rutinitas adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap bergerak, bahkan saat ia tak tahu kenapa.
---
Di meja makan, hanya ada nasi goreng buatan Mbak Lala dan segelas teh manis. Lutfian sudah berangkat duluan. Nindi dan Hamka belum kelihatan. Nala? Sudah tentu belum bangun.
Hera duduk dan mulai makan pelan. Ia tidak lapar, tapi perutnya kosong. Dan ia benci kekosongan.
Mbak Lala muncul sambil membawa cucian. “Nduk, nanti sore ada yang mau kamu beli di warung?”
“Nggak, Mbak. Terima kasih.”
Mbak Lala tersenyum pelan. Ia tak bertanya lebih, tak memaksa. Ia sudah hafal bahasa tubuh Hera. Anak itu tidak sedang baik-baik saja. Tapi juga tidak ingin dijamah oleh kata-kata klise seperti “semangat ya” atau “nanti juga berlalu.”
---
Siang hari, Nindi datang mengetuk pintu kamar Hera.
“Hera, nanti sore Mama mau ngajak kamu ikut arisan, ya? Ketemu temen-temen Mama. Sekalian silaturahmi.”
Hera menatap ibunya lama sebelum menjawab, “Aku nggak kenal mereka.”
“Justru itu, biar kenalan. Biar nggak terus ngurung diri.”
“Aku nggak ngurung diri, Ma. Aku cuma nggak cocok sama keramaian yang pura-pura peduli.”
Nada bicara Hera datar. Tak ada emosi. Tapi justru itulah yang membuat Nindi terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya berkata, “Ya udah, kalau kamu nggak mau. Mama nggak maksa.”
Nindi menutup pintu kamar. Pelan. Tapi bagi Hera, suara itu terdengar seperti penolakan lain yang dibungkus kata “bebas memilih.”
---
Sore itu, Hera duduk di halaman belakang. Angin lembut menerpa wajahnya. Matahari sedang dalam perjalanan turun. Langit berwarna jingga samar. Cantik, tapi sayangnya tak membuatnya merasa apa-apa.
Ia membuka buku catatannya. Menuliskan satu kalimat:
“Aku iri pada orang yang bisa tertawa tanpa alasan.”
Lalu diam. Lama. Sampai halaman itu tertutup debu dari angin.
---
Saat malam tiba, suasana rumah seperti biasa. Nala tertawa keras sambil video call. Nindi sibuk melihat ponsel. Hamka belum pulang dari kantor, dan Lutfian? Hera tidak tau.
Hera kembali ke kamarnya. Duduk di lantai. Punggung bersandar ke tempat tidur. Tangannya memeluk lutut. Di dalam diam itu, ia berpikir, kalau hidup seperti ini terus, kapan ia boleh berhenti?
Tiba-tiba, layar ponselnya menyala. Pesan masuk dari Lutfian.
Bang Lutfian
Lo di rumah?
Ya
Gue beli martabak. Turun ke dapur sekarang.
Ia mendengus. Lelah, tapi tetap bangkit. Ia turun ke dapur, dan benar saja Lutfian duduk di meja dengan dua kotak martabak, satu manis, satu asin.
“Yang asin buat lo,” katanya singkat.
Hera duduk, membuka kotaknya, dan mencubit satu potong. “Kenapa tiba-tiba beli beginian?”
“Gue lapar. Terus kepikiran lo mungkin juga lapar. Atau nggak lapar sih, tapi lo tuh kadang butuh sesuatu yang nggak lo minta.”
Hera menatap kakaknya. Lama. Lalu berkata, “Thanks.”
Lutfian tidak menjawab. Ia hanya mengunyah pelan, lalu berkata sambil mengunyah, “Gue juga sering ngerasa kosong, Her. Tapi kadang, martabak asin bisa jadi alasan kecil buat terus bertahan.”
Hera tertawa pelan. Tertawa pertamanya hari itu. “Lo aneh banget.”
“Gue Abang lo. Turunannya pasti aneh juga.”
Dan malam itu, meski tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata bijak, tidak ada keajaiban tiba-tiba, Hera merasa... sedikit penuh. Meski cuma sepotong martabak dan satu kalimat bodoh dari kakaknya, rasanya cukup untuk hari ini.
Untuk hari ini saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Teen FictionHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...