-----Nala Asyifa Hamka adalah segalanya yang Hera tidak bisa. Gadis itu tahu cara menarik perhatian, tahu cara membuat orang mendengarkan, tahu cara menangis dengan kadar yang pas untuk menciptakan drama. Dan, yang paling penting, Nala tahu cara membuat orang berpihak padanya.
Sejak kecil, Hera sudah tahu bahwa adiknya itu istimewa. Tapi bukan dalam arti yang membuatnya bangga. Istimewa karena Nala bisa membuat ibunya meninggalkan Hera di ruang tunggu dokter hanya karena Nala menangis ingin es krim. Istimewa karena setiap kali Nala membuat kesalahan, selalu ada pembenaran.
“Nala masih kecil.”
“Nala cuma pengen perhatian.”
“Nala anak bungsu, sabar ya, Kak.”Dan lama-lama, Hera belajar. Bukan belajar untuk mengerti, tapi belajar untuk berhenti berharap.
---
Pagi itu, Nala datang ke dapur dengan wajah kusut. Rambutnya diikat seadanya, piyama masih kusut, dan matanya sembab.
“Mbak Lalaaaa! Gimana sih nyetrikanya! Piyamaku berkerut semua!”
Teriakannya memecah kesunyian rumah.Mbak Lala buru-buru keluar dari dapur, membawa setrika dan wajah panik. “Maaf, nduk Lala. Mungkin Mbak salah set suhu kemarin.”
Nala menghela napas keras. “Aku kan ada tugas bikin video hari ini, Mbak! Masa bajuku jelek gini!”
Hera menoleh dari kursinya. “Ganti, nggak usah ribet.”
Nala meliriknya tajam. “Emang lo ngerti apa tentang tampil cantik? Lo ke sekolah aja kayak baru bangun tidur.”
Hera mengangkat bahu. Tidak tertarik meladeni. Tapi dalam hatinya, perih itu terasa lagi. Sama seperti dulu-dulu. Nala selalu tahu titik lemah Hera dan selalu menekannya dengan senyum manis.
---
Siang harinya, Hera sedang membaca di kamar ketika Mamanya mengetuk pintu.
“Hera, bantuin Nala ya. Dia mau bikin video buat tugas sekolah.”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kamu kan ngerti soal ngerekam video. Kamu juga lebih sabar.”
Hera nyaris tertawa. Sabar? Sejak kapan mereka melihatnya seperti itu?
Tapi akhirnya ia menuruti juga. Bukan karena ingin membantu Nala, tapi karena lebih lelah berdebat.
---
Mereka merekam di ruang tengah. Nala berdiri di depan kamera sambil membaca naskah. Hera mengarahkan kamera dari sofa.
Baru tiga menit merekam, Nala menghentikan.
“Ulang. Tadi rambut gue keliatan aneh.”
Hera menekan tombol berhenti. “Oke.”
Tiga menit lagi, lalu berhenti lagi.
“Ulang. Gue kayaknya kedipnya terlalu sering.”
Dan berulang lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya Hera menurunkan kamera dan berkata datar, “Kalau lo nggak puas-puas juga, mending lo rekam sendiri.”
Nala cemberut. “Lo nggak usah bantu kalau setengah hati gini.”
Hera diam. Lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata pun.
Di belakangnya, Nala menatap penuh kesal, ia akan membuat perhitungan dengan Kakaknya itu, tunggu saja.
---
Malam itu, saat Nindi pulang dari arisan, Nala mengadu.
“Ma, Kak Hera tuh nyebelin. Disuruh bantuin bikin video aja jutek banget.”
Nindi menatap putrinya yang termanja itu. “Kamu juga jangan manja terus, Nala. Kakakmu mungkin capek.”
Nala kaget. Biasanya, Nindi langsung membelanya. Tapi kali ini... tidak.
“Ma... Mama belain Hera?”
“Mama nggak belain siapa-siapa sayang, ya udah nanti mama aja yang bantu kamu bikin video ya.”
Untuk pertama kalinya, Nala tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan masuk ke kamarnya.
Dan malam itu, di kamarnya masing-masing, dua gadis yang tinggal di rumah yang sama, tumbuh dari rahim yang sama, tertidur dengan pikiran yang berbeda
Nindi menatap kamar anak tengahnya, iya rindu bercengkrama dengan anaknya itu tapi saat ia mencoba memulai membuka obrolan, Hera seperti membuat tembok pembatas yang memisahkan mereka.
Atau malah dia yang sudah membangun tembok pembatas itu.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Teen FictionHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...