Salsa melepas kacamatanya, lalu mengusap kedua matanya berulang kali dengan kedua lengannya yang terbalut sweater hijau muda, berniat untuk mengembalikan konsentrasi yang sepertinya sudah mulai pergi dari pikirannya. Ia merasa sedikit kelelahan karena harus menyelesaikan beberapa dokumen milik kliennya dalam dua jam terakhir tanpa jeda. Wanita itu lantas meneguk air putih yang sedari tadi hanya menjadi pajangan di sana, di atas mejanya.
Ia meraih ponselnya yang baru saja bergetar. Membalas pesan-pesan masuk, yang belum sempat ia balas sedari pagi. Kemudian matanya menangkap buku kecil yang terselip diantara tumpukan berkasnya, yang makin hari kian menggunung. Wanita itu tak punya kuasa untuk tak menahan dirinya membagi waktu pada buku bersampul usang itu.
Entah mengapa, ia seperti mendapat energi baru setelah mencoret buku kecil itu dengan rangkaian kata-kata indahnya. Salah satu hal yang sejenak menenangkan dirinya, dari hiruk pikuknya kepentingan duniawi dan kisah cinta yang masih melukainya. Ia bergegas menutup buku kecilnya, ketika mendengar seseorang mengetuk pintunya dari luar.
"Hai, Sal." Lelaki yang hari ini memakai setelan celana jeans biru dan kaos putih itu tiba-tiba saja muncul dari balik pintunya."Ren? Lu ngapain kesini?" Salsa terkejut melihat kemunculan lelaki yang akhir-akhir ini sering menghantui hidupnya.
Lelaki itu tertawa lebar, lalu membawa dirinya pada kursi di seberang meja kerja wanita itu.
"Ruangan lu bagus." Terlihat Renjana sedang antusias memperhatikan ruangan yang tidak terlalu besar, namun cukup rapi dan tertata. Sebuah meja kerja dengan ukuran satu setengah meter kali delapan puluh sentimeter terletak di tengah ruangan, sedikit menjorok ke dinding berdekatan dengan jendela kaca besar di belakangnya. Dari tempatnya duduk, lelaki itu dapat melihat wanita dihadapannya, sekaligus pemandangan biru langit yang menghampar dari balik kaca jendela.
Sebuah vas kecil berisi tumbuhan anthurium terlihat di sudut meja, bersanding dengan kalender kecil dan beberapa alat tulis di dalam sebuah kotak berwarna hitam. Tepat di sudut sebelah kiri dari ruangan itu, terisi dengan sofa berbentuk L melingkar pada meja putih kecil di tengahnya. Sementara di sudut kanan, sebuah mini kulkas dengan taplak rajut di atasnya membuat ruangan itu terkesan estetik, begitu hangat dan nyaman.
"Tergantung siapa yang nempatin." ucap Salsa asal, sembari sibuk merapikan kerudungnya.
Lelaki itu hanya tersenyum tipis, tak membantah.
"Lu udah makan?"." tanya Renjana, membuat ekor mata wanita itu melirik ke arahnya.
"Kenapa"
"Makan yuk. Jam makan siang nih." ajak lelaki itu enteng, membuat curiga wanita di hadapannya.
"Ngapain ngajakin gue, sih? Kan lu bisa lunch sama temen-temen lu."
"Lu kan temen gue juga." sahut Renjana, membuat wanita dihadapannya hanya diam sembari memutar bola matanya. "Lagian gue tadi juga udah ngajakin lu lewat chat, tapi lu read doang."
Ada sedikit jeda untuk beberapa saat, lelaki itu masih menunggu jawaban.
"Lu jutek banget sih sama gue? Takut naksir, ya?
Salsa mengernyit, kaget dengan pernyataan lelaki didepannya yang menurutnya begitu narsis.
"Anjir, geer banget lu. Kata gue sih lu cuci muka dulu."
Alih-alih tersinggung, lelaki itu malah tertawa, tak menyangka mendapat respon yang begitu sarkas dari notaris itu. Membuatnya semakin penasaran.
"Ya makanya, ayo makan bareng. Kalau lu nggak mau artinya lu emang takut naksir." tantang Renjana.
Wanita itu terdiam mengamati lelaki dihadapannya. Baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang over confidence, menganggap wajah rupawan yang dimilikinya adalah sebuah kunci paten bahwa seluruh wanita di dunia ini dapat ia pikat sesuka hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNSHINE
RomanceTerkadang, takdir adalah satu-satunya alasan kita percaya bahwa segala sesuatu telah diatur dengan sempurna. Renjana Arulian terjebak dalam perasaan cinta pada Sherina Salsabila, wanita yang hanya ia jadikan sebagai pembuktian ego diri nya. Bagaiman...