Part 6

73 9 2
                                    

Mentari terus saja mengetukkan jari jarinya di atas meja, kedua bola matanya terus saja melihat bangku kosong yang ada di sebelahnya.

Harinya benar benar sepi ketika Lintang tidak masuk sekolah, walau Lintang tidak banyak bicara tetap saja berdua lebih menyenangkan dari pada sendiri seperti ini.

"Baru juga sehari udah kaya di tinggal setahun," cibir Awan duduk di kursi Lintang sembari membawa donat di tangannya.

"Sepi bener dah hidup gua," keluh Mentari mengetukkan keningnya di meja.

"Serame apa dah hidup Lu pas ada Lintang si kulkas 15 pintu," cibir Awan lagi mengingat Lintang adalah orang yang tidak banyak bicara bagaimana bisa membuat hidup menjadi ramai.

Mentari pun menghela nafas,"Lu nggak faham Wan. Gua dah dr kecil temenan sama Lintang jadi ya berasa rame," jelas Mentari sembari mencuri satu buah donat dr tangan Awan.

"Pasar noh lebih rame," cibir Awan tidak habis fikir.

"Mak pakk pengen ikut Lintang ke Surabaya," keluh Mentari dengan mulut penuh donat.

Awan memutar bola matanya malas,"Mau ngikut juga Lu mau ngapain?, ngang ngong doang paling di sana," ucap Awan melahap donat terakhir di tangannya.

Mentari kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja,"Ngapain kek, ngelap meja atau ngelipet baju," ucapnya tampak tak semangat.

Satu sentilan mendarat di kening Mentari dengan sempurna,"Gegayaan ,kaya bisa aja Lu."

Mentari membalas Awan dengan satu pukulan di lengannya, "Bisa, Bisa nangis," ucap Mentari membuat Awan tertawa.

"Telepon dah gih kalau kangen," suruh Awan sembari ikut merebahkan kepalanya di atas meja.

"Udah, semalem. Gua suruh nungguin tidur sebagai hukuman," jelas Mentari mengecek notifikasi di layar handphone nya.

Awan berdecak kagum setelah mendengar ucapan Mentari,"Ngalahin mak tiri dah, untung Lintang sabar ya. Kapan sadarnya tu orang."

Mentari menyerengit bingung,"Sadar soal?."

"Sadar kalau Lo itu jelmaan beruang," ejek Awan sembari berlari menghindar sebelum pukulan lima jari mendarat di punggung nya.

"Heh!!," teriak Mentari berlari mengejar Awan yang terus menghindar dari pukulannya.
Keduanya terus berlari mengitari beberapa bangku sebelum suara batuk dari Muhammad membuat keduanya menciut dan berhenti saling mengejar.

Kedua sahabat tersebut langsung berlari keluar kelas ketika bel istirahat pertama di bunyikan, melihat kantin yang masih lenggang membuat keduanya saling reflek saling pandang, dengan anggukan singkat keduanya berbagi tugas untuk memesan makanan agar menghemat waktu.

Mentari langsung meneguk satu gelas es teh yang baru saja di letakkan Buk Simah, tenggorokannya yang kering langsung terasa lega ketika es teh dingin membanjiri tenggorokan nya.

"Pelan pelan buset, kembung yang ada ntar," tegur Awan menarik paksa gelas milik Mentari agar berhenti minum.

"Leganyaa," ucap Mentari menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

"Ini kalau ketahuan Lintang gua di gorok kagak ya," bingung Awan ketika melihat meja di hadapan nya sudah penuh dengan makanan, namun beberapa makanan tampak merah merona yang dapat di pastikan terasa sangat pedas.

Mentari melambaikan tangannya memberikan isyarat untuk jangan tegang, "Penting kagak bilang pasti nggak bakal di marahin," ucap Mentari sembari menarik Mie ayam yang tampak menggugah selera.

"Bilangnya sih enggak, tapi bukti berkata lain gimana?," tanya Awan menarik satu mangkuk Tahu Gejrot yang tampak begitu pedas.

"Tenang aja, penting makan nasi dulu," jelas Mentari menyendok nasi uduk dengan lauk telur balado sebagai syarat.

Promise we won't go anywhere Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang