Baru saja sampai, Lintang buru buru memasuki mobil hitam yang berhenti tepat di depannya, punggung yang terasa pegal kini bersandar dengan nyaman di sandaran kursi mobil. Jari jari Lintang kembali meraba pelipisnya yang terasa berdenyut sedari tadi. Rasa lelah kantuk pun terasa berkumpul menjadi satu kali ini.
"Maaf yaa."
Tak menjawab, Lintang lebih memilih memejamkan mata masuk kedalam mimpi mengikuti mobil yang semakin jauh meninggalkan area sekolah.
Baru saja terlelap tidurnya mulai terganggu dengan getaran terus menerus dari benda yang berada di saku jaketnya.Dengan satu mata yang masih terpejam Lintang tampak mengecek deretan nama yang terpampang di layar handphone nya. Nama Mentari tampak bertengger paling atas di deretan notifikasi yang ada.
Getaran kembali terasa ketika handphone kembali Ia masukkan kedalam saku, Mentari kembali menelpon tanpa henti ketika Lintang tak kunjung menjawab ataupun membalas pesan miliknya.
Tak seperti biasanya, Lintang lebih memilih mematikan daya Handphone dan menyimpannya kembali kedalam saku, tak bisa di pungkiri tubuh dan pikiran nya saat ini benar benar sangat lelah.
*****
"Kan. Beneran marah!," reflek Awan ketika Mentari menggeleng lesu.
"Gua harus apa," tanya Mentari bersembunyi di lipatan tangan dengan lemas.
"Mungkin sibuk, nanti juga di telpone," sambung Hesta yang tampak heran dengan sejoli di hadapannya.
Awan tampak menoleh dengan cepat,"Sesibuk sibuknya itu perempuan, kalau Mentari yang telpone pasti di angkat," Jelas Awan pada Hesta,"Gua nggak ikut ikutan ya, tadi pagi udah Gua kasih tau kan. Jadi no Comments deh Gua," jelas Awan mengangkat kedua tangannya tanda tidak ingin terlibat dengan masalah yang ada.
"Kok gitu sihhh, nggak setia kawan banget," rengek Mentari tak ingin sendirian menghadapi Lintang yang seperti sedang merajuk.
Tangan Awan terangkat untuk menyentil kening Mentari pelan,"Gua setia kawan yaa. Tapi Lu nya aja yang bandel Gua kasih tau."
"Emang separah itu ya kalau temen kalian yang namanya Lintang itu marah?," tanya Hesta yang masih bingung kenapa Mentari tampak lesu.
"Parah sih nggak, cuma bencana aja sih. Bencana buat Mentari doang Gua sih nggak," jelas Awan santai.
"Kenapa bisa gitu?," Hesta semakin di buat bingung dengan jawaban yang di berikan oleh Awan.
"Ini anak sama Lintang udah sahabatan dari kecil kalau Lo mau tau," jelas Awan lagi.
"Hubungannya sama tempat duduk?."
"Ya tempat duduk yang Lo tempatin punya dia lah," jelas Awan tampak menatap Hesta malas.
"Ya terus kenapa. Kan cuma seminggu Gua pinjem?," kebingungan Hesta semakin menjadi mendengar jawaban Awan.
"Intinya Lo nggak seharusnya duduk di situ," jelas Awan langsung pada intinya," dan asal lo tau ini sek-," belum sempat melanjutkan kata katanya mentari lebih dulu menahan pergelangan tangan Awan agar berhenti sampai di situ saja.
"Se?," Hesta tampak bingung menatap Awan maupun Mentari yang sepertinya tengah memberikan kode lewat tatapan mata.
"Nggak usah di dengerin, ini bocah isi kepalanya cuma ada setengah," lerai Mentari yang tak ingin Awan berbicara lebih jauh membuat masalah yang tampak sederhana melebar kemana mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise we won't go anywhere
General FictionKetika langitmu abu abu, masih ada aku yang akan membuatnya membiru. Ketika langitmu tak ada bintang, ada aku, bulan paling terang untukmu. Ketika harimu selalu hujan, ingat aku pelangi yang akan datang setelah nya. Jika lembaran bukumu tampak koso...