Mentari terus saja berkutat pada layar handphone mengabaikan seseorang yang tengah menatap nya dari sofa yang berada di sudut kamar. Rasa kesal sekaligus marah terus saja memenuhi hatinya walau kata maaf terus saja terlontar sedari siang saat ke datangannya.
Terlihat beberapa paper bag yang ada di atas meja tampak tidak tersentuh sedikit pun, bahkan boneka Hiu yang tampak menggemaskan tak menggoyahkan hati Mentari sama sekali.
Beberapa kali Mentari melihat ke arah sofa dengan sudut matanya, terlihat Lintang yang masih dengan posisinya yang sama tak bergerak sedikit pun. Tatapan mata lembut namun terlihat mengintimidasi dari Lintang membuat Mentari semakin yakin untuk terus mengibarkan bendera perang saat ini.
"Gua pulang dulu," pamit Lintang tiba tiba meraih jas yang sempat Ia lepas saat memasuki kamar Mentari.
Mata Mentari membulat sempurna ketika pintu terbuka dan tertutup begitu saja. Dengan langkah cepat Mentari mencoba mengejar Lintang namun langkah nya terhenti ketika membuka pintu mendapati Lintang yang tengah berdiri berdiri di depan pintu dengan wajah datarnya.
Dengan perlahan Lintang berjalan mendekat dan berdiri di depan Mentari yang memiliki tinggi sedikit lebih pendek dari dirinya, tangan kanan Lintang terangkat diusapnya kepala Mentari pelan sebelum memberikan senyuman lembut,"Marah."
Mentari yang hampir luluh pun cepat cepat menggeleng pelan untuk memulihkan akal sehatnya,"Harus banget di kasih tau kalau lagi marah."
Dengan gemas Lintang menarik salah satu pipi milik Mentari,"Nggak perlu, gua tau Lu marah," ucapnya menyimpan kedua tangannya di saku celana.
Mentari mendelik kesal,"Kalau tau Gua marah, kenapa malah mau pulang," kesalnya berjinjit untuk mencoba mensejajarkan tingginya dengan Lintang agar tampak lebih seram saat memasang wajah marah.
Dengan jahil Lintang melebarkan kedua kakinya agar tubuhnya bisa sejajar dengan Mentari,"Biar tambah marah," ucap dengan wajah datar.
"Babi lahh," kesal Mentari.
Satu sentilan pada bibir sukses membuat Mentari mengaduh,"Gua nggak pernah ngajarin Lo ngomong jorok ," ucap Lintang dengan intonasi yang tampak mengerikan.
"Maaf, Awan yang ngajarin kemarin," alasan Mentari ketika mendengar intonasi Lintang yang berubah yang Ia tau pasti bahwa intonasi yang sama ketika benar benar marah bukan hanya marah saja.
Kepala Mentari menunduk takut, di lihat nya kedua kakinya yang tampak lebih kecil dari kaki Lintang yang ada di hadapannya. Dengan perasaan bodoh beberapa kali Ia menepuk mulutnya yang tidak sengaja mengumpat.
"Gua kangen Elu," ucap Lintang tiba tiba menarik tubuh Mentari ke dalam pelukannya.
Mentari yang mendapatkan pelukan tiba tiba tampak masih diam mencerna semuanya, kedua tangannya terangkat membalas pelukan hangat dari Lintang setelah hampir setengah bulan tidak bertemu.
"Gua juga kangen Lyn," kekeh Mentari mengikuti gerakan Lintang.
Hampir 10 menit kedua nya saling berpelukan di depan pintu kamar Mentari," buka oleh oleh nggak sih ini Lyn," ucap Mentari yang sudah merasakan lelah karena berdiri sembari berpelukan sedari tadi.
"5 menit."
Dengan pasrah Mentari mengangguk membiarkan Lintang menuntaskan rasa rindunya," nanti malem bakso ya," ucap Mentari mendapatkan balasan sebuah dehaman dari Lintang pertanda setuju.
Senyum Mentari merekah ketika Lintang menarik tangannya masuk kembali kedalam kamar," tinggal pilih," ucap Lintang mengambil duduk di sofa membiarkan Mentari memilih oleh oleh mana yang akan di buka terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise we won't go anywhere
General FictionKetika langitmu abu abu, masih ada aku yang akan membuatnya membiru. Ketika langitmu tak ada bintang, ada aku, bulan paling terang untukmu. Ketika harimu selalu hujan, ingat aku pelangi yang akan datang setelah nya. Jika lembaran bukumu tampak koso...