"Lu kenapa sih?," tarik Awan setelah berhasil memisahkan pertengkaran antara Mentari dengan salah satu adik kelas yang Ia ketahui satu kelas dengan sang pujaan hati.
Dengan kasar Mentari menepis tangan Awan, "Gua?, kenapa?. Nggak salah Lo nanya ke Gua," jawab Mentari penuh dengan penekanan di setiap katanya.
Awan yang tampak frustasi mengusap wajahnya dengan kasar sembari mencoba mengumpulkan sisa sisa kewarasan nya, "Ayolah, Gua tau temen Aulia nggak bakal ngajakin Lo berantem kalau nggak ada salah kan," ucap Awan dengan setenang mungkin.
"Maksud Lo gua yang mulai duluan," kekeh Mentari tampak tidak percaya dengan ucapan Awan,"Dengar ya Wan, mau itu pacar Lo atau temen pacar lo, Gua nggak bakal terima ketika sahabat gua di hina kaya tadi," jelas Mentari yang masih tampak diliputi amarah.
Awan menarik kedua pundak Mentari,"Seenggaknya Lo sabar lah Rii, semua bisa di selesaikan baik baik kan. Nggak perlu sampe ribut kaya tadi."
Dengan kesal Mentari menepis tangan Awan dari pundaknya,"Nggak ada penyelesaian yang lebih baik kalau menyangkut harga diri. Mungkin Lintang cuek sama gonggongan mereka, tapi Gua nggak bakal diem aja," jelas Mentari pergi meninggalkan Awan sendiri.
Dengan kesal Mentari menjatuhkan tubuhnya ke kursi miliknya, rasa kesal dan marah kini menyelimuti hati maupun isi kepalanya. Bukan hanya marah dengan orang orang yang berani menghina Lintang, kini Ia juga kesal dengan sikap Awan yang terlihat lebih membela teman teman Aulia yang jelas jelas salah.
Suara gebrakan meja memenuhi seisi kelas membuat kelas yang tadinya ramai tiba tiba menjadi sunyi. Tampak beberapa siswi saling pandang seperti memberi kode agara salah satu dari mereka memastikan keadaan Mentari.
"Kenapaa?," tanya Mutiara yang kini sudah mengambil duduk di bangku sebelah Mentari.
Mentari yang mendengar suara lembut dari Mutiara pun tampak diam,"Araa, aku mau peluk," ucapnya di sambut pelukan hangat dari Mutiara.
Hanya dengan usapan lembut dari tangan Mutiara membuat emosi yang tadinya meluap kini berangsur reda, dengan gemas Mutiara menepuk punggung Mentari lembut seperti tengah menidurkan anak kecil dalam pelukannya, "Kenapa semua manusia bisa lupa ya sama hal simpel kaya gini. Araa. Tau nggak sih, Lu orang kedua yang peka kalau orang lagi marah cukup di kasih pelukan biar reda. Bukan di kasih wejangan apalagi beribu pertanyaan kenapa dan ada apa," ucap Mentari tampak memanyunkan bibirnya di pundak Mutiara.
Mutiara tersenyum lembut ketika melihat wajah Mentari yang tampak masam,"Kadar peka orang itu beda beda Rii. Nggak bisa di samakan, apalagi di tuntut untuk sama," jelas Mutiara yang masih sibuk merapikan rambut Mentari.
"Tapi kok Araa bisa sama kaya Lintang?," tanya Mentari kembali ke mode manja setelah sisa sisa amarah tampak luntur tersapu oleh tangan Mutiara.
"Sama sama Virgo," jawab Mutiara tampak asal.
"Nggak nyambung."
"Di sambungin," jahil Mutiara mengetuk hidung mancung milik Mentari dengan lembut.
"Kok jadi ngeselin," keluh Mentari berkacak pinggang memasang wajah tak suka dengan jawaban Mutiara.
"Nggak ngeselin. Cuma copy paste aja," jawabnya sembari menopang wajahnya dengan satu tangan.
"Kok nambah 10% kadar ngeselin nya dari minggu kemarin?."
Mutiara mengangkat kedua pundaknya,"Habis bergulat dengan tugas persOSISan," jawabnya mengingat realita di balik tanggung jawab sebagai salah satu anggota organisasi.
Mentari mengangguk mengerti, kedua tangannya kini sibuk menjelajah isi laci mencari beberapa bungkus makanan yang masih tersisa, "Emang OSIS mau bikin program apa lagi?. Kaya nggak ada liburnya perasaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise we won't go anywhere
General FictionKetika langitmu abu abu, masih ada aku yang akan membuatnya membiru. Ketika langitmu tak ada bintang, ada aku, bulan paling terang untukmu. Ketika harimu selalu hujan, ingat aku pelangi yang akan datang setelah nya. Jika lembaran bukumu tampak koso...