Tangan dingin dan lembut terus membelai pipi seorang gadis yang tengah berbaring di brangkar rumah sakit sejak semalam, wajah pucatnya membuat semua orang tampak hawatir, lenguhan pelan membuat semua orang berdiri mendekat.
Wajah datar dengan mata penuh kehawatiran dari Lintang sukses membuat Mentari tersenyum tipis ketika membuka mata, merasakan badannya yang masih lemas membuat nya kembali memejamkan mata untuk mencari sedikit energi.
"Mau minum?," tanya Lintang yang hanya di jawab dengan anggukan lemas dr Mentari.
Dengan di bantu oleh Pak Ghaffar Lintang membantu Mentari untuk merubah posisi menjadi setengah duduk. Satu tegukan air putih lolos membanjiri tenggorokan Mentari yang sudah kering.
"Sekali lagi," pinta Lintang agar Mentari meminum seteguk air lagi.
"Maaf," ucap Mentari menatap Lintang dengan mata penuh penyesalan, dirinya tidak berani menatap kedua mata orang tuanya.
Semalam ketika Lintang sampai di kamar Mentari bukannya sambutan hangat yang di terima, melainkan Ia harus melihat Mentari yang jatuh pingsan di lantai dengan wajah pucat, tanpa pikir panjang Lintang langsung mengangkat Mentari ke punggungnya dan berlari membuat Pak Ghaffar dan Mama Ghia yang sedang menonton TV ikut panik.
Tanpa pikir panjang ketiganya langsung membawa Mentari ke rumah sakit dan di sinilah mereka berada sekarang.
Satu sentilan pelan di kening membuat bibir yang tampak pucat tersebut memanyun ke depan," lagi sakit jangan di sentil," lenguhnya manja berharap tidak di marahi lebih dari itu.
"Adek, kenapa kalau nggak ada Lintang jadi nakal?," tanya pak Ghaffar membuat Mentari menunduk bersalah, mata tajam milik Pak Ghaffar tampak mengerikan membuat siapa saja takut.
Mentari semakin menunduk takut,"Maaf Yah."
"Udah nanti lagi. Biarin Mentari makan dulu," ucap Mama Ghia menepuk pelan lengan Pak Ghaffar, "Adek makan dulu ya, Mama sama Ayah pulang sebentar. Adek sama Lintang dulu," ucap Mama Ghia membelai rambut Mentari sebentar lalu menarik sang Suami untuk keluar dr ruang rawat Mentari.
"Nakal lagi," ucap Lintang setelah beberapa menit hening, Mentari menggeleng dengan wajah yang masih menunduk,"terus ini," ucapnya menarik wajah Mentari untuk menatap nya.
Satu tetes air mata lolos dari pelupuk mata Mentari,"maaf, " ucap Mentari yang tidak bisa memikirkan kata selain meminta maaf.
Lintang mengembuskan nafas menetralkan rasa marah maupun rasa hawatirnya, sejak semalam bahkan Ia tidak tidur untuk memastikan tidak terjadi apa apa pada Mentari.
"Makan dulu," perintah Lintang menyendok bubur yang masih hangat ke depan mulut Mentari.
"Di maafin kan?," tanya Mentari belum mau makan.
"Makan dulu."
Mentari menggeleng pelan belum mau membuka mulutnya,"Tapi di maafin?," tanya Mentari lagi.
Lintang menatap datar pada Mentari,"Nggak, makan dulu baru di maafin," ucapnya masih dengan satu sendok bubur yang masih mengambang di depan mulut Mentari.
Dengan senang Mentari menerima satu suapan dari Lintang,"Janji?."
Lintang mengangguk menyendokan satu sendok kan penuh,"Janji, tapi kalau habis satu mangkuk," syaratnya membuat senyum Mentari semakin merekah.
Senyum Mentari terus merekah ketika menerima suapan demi suapan dari Lintang, wajah pucat nya sedari tadi tertutup sudah dengan senyumnya saat ini.
Suara pintu terbuka dengan keras membuat Lintang maupun Mentari terjingkat kaget, bahkan mangkuk yang ada di tangan Lintang hampir terlepas dr tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise we won't go anywhere
General FictionKetika langitmu abu abu, masih ada aku yang akan membuatnya membiru. Ketika langitmu tak ada bintang, ada aku, bulan paling terang untukmu. Ketika harimu selalu hujan, ingat aku pelangi yang akan datang setelah nya. Jika lembaran bukumu tampak koso...