32. Benar-Benar Kacau

9 4 0
                                    

"Bersandar di bahumu yang nyatanya bukan untukku adalah suatu ketidakmungkinan. Bahumu terlalu kokoh untuk menjadi sandaran kepala yang isinya tidak keruan sepertiku yang mana mudah rapuh."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Di dalam pesawat, Karam dan Asmara tidak saling bicara. Keduanya sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Tidak hanya Asmara, Karam juga merasakan kesedihan yang membara, terlebih ia sudah menyerah menyembunyikan ini semua sendirian. Ya, Asmara harus tahu.

Karam Laksamana, pemuda berparas tampan yang baru menginjak usia 24 tahun tiga hari lalu, kini benar-benar berada di samping Asmara. Rindu yang selama ini menjerat hidupnya, bisa ia lepaskan begitu melihat gadis cantik ini berada pada jarak paling dekat.

 Rindu yang selama ini menjerat hidupnya, bisa ia lepaskan begitu melihat gadis cantik ini berada pada jarak paling dekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Lin Yi as Karam Laksamana]

Karam menoleh ke arah saudara perempuannya itu. Terlihat jelas bahwa gadis di sebelahnya ini sudah sembab. Entah menangisi apa selain ini, karena saat pemuda itu datang ke rumahnya, Asmara memang sudah menunjukkan wajah sehabis menangis. Dirangkulnya tanpa izin oleh Karam, kemudian tangan besarnya mengusap puncak kepala Asmara, yang mana membuat gadis itu mendongakkan kepala ke samping untuk melihat ekspresi Karam.

Tidak ada elakan, Asmara justru menyandarkan kepalanya pada bahu kiri Karam.

“Aku masih tidak menyangka bahwa pertemuan pertama kita harus dengan perasaan sedih seperti ini, Ram,” ucap Asmara, yang baru membuka pembicaraan mereka karena sedari tadi antara Karam ataupun Asmara tidak ada yang berani berbicara.

Perasaan mereka terlalu canggung.

Karam mengembuskan napasnya. “Maaf.”

“Maaf untuk?”

“Maaf baru berani bertemu dengan Anda sekarang. Terlebih di situasi yang pasti sangat menyakitkan untuk Anda,” balas Karam, merasa tidak enak dengan Asmara.

Asmara mendusel manja. Ternyata seperti ini rasanya memiliki saudara? Bisa bersandar dengan leluasa, mengungkapkan semua rasa sakitnya. Walau selama ini Asmara memiliki Pupus dan Tangkis.

Ah, menyebut nama Pupus saja Asmara sudah merasakan sayatannya.

“Untuk kita, Karam. Situasi ini begitu menyakitkan untuk kita. Pasti berat menjadi kamu yang harus menanggung semua beban Abah. Aku sangat berterima kasih karena selama ini kamu sudah menjaga Abah tanpa sepengetahuanku. Atau mungkin karena aku yang tidak terlalu peduli, ya? Haha. Aku hanya bisa berharap, semoga saja Abah masih menerimaku kembali setelah aku memaksa diri meninggalkannya dengan alasan melanjutkan usahanya di Bandung." Asmara berkata dengan getir. Sebenarnya ia tidak sanggup, tetapi untuk menjelaskan sedikit kepada Karam, maka Asmara harus mampu.

Karam mengedipkan matanya yang memerah. Ingin tidur pun pikirannya dipenuhi segala sesuatu yang tidak beraturan. Entah itu soal Asmara atau abahnya, yang jelas Karam tidak tahu lagi harus melakukan apa kecuali berdoa pada Tuhan.

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang