"Berjanji untuk menetap di rumah yang tidak untuk disewakan, terlebih si pemilik tidak mau memberikan sertifikat tanahnya. Maka janji itu hanya suatu sia-sia yang nyata."
- Asmara Sekar Alstroemeria -
***
Asmara melepas sabuk pengamannya, lalu berkata terima kasih kepada sopir taksi online yang ia pesan tersebut karena Asmara sudah membayarnya via aplikasi. Gadis itu sudah sampai di sebuah komplek perumahan sederhana, sesuai dengan alamat yang Tangkis berikan.
Turun dari taksi, kemudian menatap sebuah rumah bernomor 98 tanpa kedip. Benar, ini adalah rumah Karam, tetapi sepi layaknya tak berpenghuni. Namun, tetumbuhan subur yang sepertinya dirawat oleh si tuan sudah memberi jawaban untuk Asmara bahwa pemuda yang ia cari memang tinggal di sini. Sedikit yang Asmara ketahui melalui cerita Tangkis, Karam adalah pemuda yang rajin.
Asmara menekan tombol yang ia yakini adalah sebuah bel rumah. Tombol tersebut tertempel di sebelah gerbang yang mana terdapat nomor 98. Sudah membunyikannya beberapa kali, tetapi tak kunjung disambut.
Akhirnya, gadis itu mengambil ponselnya untuk menghubungi Tangkis. Tidak butuh waktu lama sampai diangkat oleh lelaki itu, Asmara segera menyambarnya dengan sebuah pertanyaan.
"Kis, kamu tidak berbohong padaku mengenai alamat rumah Karam, 'kan?" tanya Asmara.
"Gak, kok. Itu emang rumah Karam. Kalo kamu bunyiin belnya gak dibuka-buka berarti memang gak ada orang, Ra," sahut Tangkis di sebrang sana. Asmara berdecak pelan, kemudian mengucapkan terima kasih dan menutup teleponnya.
Kembali mencoba menekan tombol itu, meneriaki nama Karam layaknya mengajak si pemilik rumah itu main. Tetap saja tidak ada jawaban, tetapi Asmara tidak akan menyerah. Ia harus bertemu Karam, bagaimanapun caranya, sekalipun menjatuhkan harga diri gadis itu.
"KARAM! BUKALAH! KAMU BENAR-BENAR MARAH PADAKU, YA? AKU TAHU KAMU ADA DI RUMAH, RAM! YUHUUUUU!" Asmara berteriak, tidak kenal malu. Bukannya pintu rumah nomor 98 yang terbuka, tetapi malah tetangga Karam yang rumahnya bernomor 99 keluar.
Asmara meringis ketika seorang wanita paruh baya membuka gerbang rumah, mendekati Asmara. Ia langsung bersalaman dengan wanita itu dengan mengatakan maaf sebanyak-banyaknya.
"Ibu, maaf kalau suara saya ganggu Ibu. Saya benar-benar mjnta maaf sama Ibu," ucap Asmara sembari menciumi punggung tangan tetangga Karam tersebut.
"Ih, nggak. Nggak ganggu, kok. Cuma saya mau kasih tahu kamu," balas si ibu membuat Asmara segera mendongak menatapnya.
"Kasih tahu apa, Ibu?"
"Kamu nyari pemilik nomor rumah 98 ini, ya?" Asmara mengangguk. Kemudian, bahu gadis tersebut ditepuk satu kali oleh wanita di hadapannya ini. "Dia jarang di rumah, Neng. Karam kalau pulang gak nentu. Saya sebagai tetangganya aja paling sebulan sekali lihat dia."
Awalnya Asmara tidak terlalu percaya dengan perkataan wanita ini. Namun, sepertinya dari raut wajah yang kelihatan begitu serius, Asmara mengerti. Terlebih si ibu menyebut nama Karam di mana sudah pasti orang yang dimaksud adalah Karam yang selama ini ia cari.
Menyunggingkan senyum tipisnya, Asmara mengangguk paham. Lalu bertanya, "Kalau boleh tahu, memang biasanya dia ke mana, Bu?"
"Waduh, kalau itu saya kurang tahu. Tapi yang pasti hari ini saya belum ada lihat tanda-tanda Karam balik setelah beberapa hari lalu pergi," balas si ibu. Lagi-lagi Asmara mengangguk, tetapi kali ini diiringi helaan napas yang terdengar begitu pasrah.
Si ibu menurunkan tangannya dari bahu Asmara yang mana gadis itu menatap lebih lama rumah anak dari mama tirinya. Kemudian menatap si tetangga Karam ini, membungkukkan sedikit tubuhnya untuk berterima kasih.
Mungkin semesta memang sedang tidak mau menakdirkan mereka bertemu hari ini atau bahkan memang tidak akan pernah dipertemukan? Entahlah, yang jelas Asmara sudah berusaha untuk menemuinya.
"Baiklah kalau begitu, Bu. Terima kasih sudah memberitahu saya. Kalau begitu saya pamit pulang saja. Sekali lagi terima kasih, ya, Bu?" ucap Asmara.
"Sama-sama, Neng."
Asmara kembali memesan taksi online untuk mengantarkannya kembali ke studio rekaman. Jika hari ini tidak bertemu, Asmara akan mencobanya lain kali. Mungkin saja Karam memang benar-benar merupakan manusia paling sibuk. Walau gadis itu juga sibuk sebenarnya, tetapi ia usahakan untuk menemui Karam.
Tidak lama, taksi pesanannya pun sampai. Asmara segera masuk ke taksi tersebut dan bersalaman terlebih dahulu dengan tetangga Karam. Setelahnya, taksi melenggang meninggalkan komplek perumahan yang ditempati Karam.
Ketika taksi sudah tidak terlihat lagi, wanita yang notabenenya adalah tetangga Karam itu menekan bel rumah nomor 98 tersebut. Berbeda dengan Asmara yang menekan bel berkali-kali tetapi tidak ada yang peduli, kini si pemilik rumah bernomor 98 itu membuka pintu rumahnya dan berjalan langsung ke gerbang.
Pemuda yang rupanya sudah mengintai dari dalam sedari tadi itu mengedarkan pandang, berharap Asmara benar-benar sudah tidak ada dalam jangkauannya.
"Neneng geulis-nya udah pergi," ucap si tetangga Karam itu.
"Syukurlah. Terima kasih, ya, Bu." Karam pun memberikan sejumlah uang untuk si ibu, tetapi ditolak mentah-mentah karena niatnya hanya membantu saja. Karam pun tidak memaksa untuk si wanita tersebut menerima pemberiannya. Ia kembali berpesan, "Nanti jika dia datang kembali, tolong sampaikan bahwa saya tidak ada di rumah, ya?"
Wanita paruh baya itu mengangguk. "Kenapa atuh gak mau ketemu neng geulis-nya? Lagi marahan? Kalau iya, cepat baikan, ya? Gak baik marahan lama-lama apalagi sama orang yang dicinta."
Karam hanya mampu menganggukkan kepalanya saja karena tidak mungkin ia menjelaskan panjang kali lebar mengenai siapa Asmara kepada tetangganya ini. Wanita paruh baya tersebut menepuk bahu Karam beberapa kali, setelahnya pamit untuk kembali ke rumahnya, meninggalkan Karam yang masih melihat sekitar.
Selang lima menit, Karam juga masuk ke rumahnya dan runtuh di balik pintu. Pemuda itu mengacak rambutnya frustrasi, merasa serba salah dengan diri sendiri. Berposisi menekuk lutut dengan menenggelamkan wajahnya di lipatan kedua kakinya, memeluk dua kaki itu dan entah mengapa, air matanya langsung meluncur dari pelupuk mata.
"Saya harus bagaimana?" gumamnya dengan bibir yang sudah gemetar hebat.
Sekalipun Karam adalah seorang laki-laki, tetapi hatinya mudah tersentuh, pikirannya selalu berlebihan, daksanya mudah lemah, lelah, dan mungkin dirinya sering menyerah. Terlebih ada banyak hal yang belum bisa pemuda itu selesaikan sekarang, padahal sebentar lagi usianya akan menginjak 24 tahun.
Mendongak sekilas, Karam menatap ruangan sunyi yang hanya ada dia sebagai penghuninya. "Saya terlalu lemah bertemu Anda, Mara. Saya ingin menjaga Anda dari dekat, saya ingin mendekap Anda layaknya saudara, tetapi saya selalu tidak bisa meyakinkan diri saya sendiri."
Karam bicara kepada dirinya sendiri yang mana pikirannya penuh dengan pikiran negatif. Pikiran tersebut ia sendiri yang membuatnya, tetapi ia juga yang banyak pertimbangan. Ternyata sesulit itu menerima kenyataan.
Sekali lagi, Karam bergumam untuk dirinya sendiri, tetapi seakan tengah berbicara langsung dengan Asmara, "Maaf, Ra. Mungkin bukan saatnya Anda bertemu anak dari orang yang sudah merusak keluarga Anda. Saya pun belum siap jika harus mengenal Anda lebih jauh sebagai saudara."
[Bersambung]
Allow, gimana part ini? Komen dong, huhuuuu. Biar aku semangat up, hehe.
Oh, ya, jangan lupa follow sosmed aku yang lain juga, ya!
IG : @ekanfd dan @author.ekanurfad_
TikTok : @author.ekanurfad_
Sampai jumpa di part selanjutnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus Asmara, 2023
Romance"Mari mendalami kisah dalam air beriak." "Mari." Mengisahkan tentang mereka yang memiliki perasaan yang sama, tetapi tidak berani saling mengungkapkan rasa. Juga, mengisahkan tentang mereka yang sama-sama mengabadikan cinta dalam suatu karya. Pupus...