34. Luka Lama Saja Belum Sembuh

15 3 0
                                    

"Jika ukuran sepatumu kekecilan, pastilah kakimu terluka. Namun, ini masalah hati. Tidak bisa disamakan dengan ukuran sepatu."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Tidak berhenti, tidak lelah, dan tidak lepas dari doa. Seorang gadis masih saja menangisi abahnya yang belum juga ada tanda-tanda untuk bangun. Walau sudah pergantian hari selama tiga kali, Asmara tetap menjaga sang abah dan tidak mau tertinggal sedetik pun.

Bahkan, kala gadis itu mandi saja, Asmara selalu merasakan khawatir. Sampai-sampai makan perlu disuapi oleh Karam. Namun, kini tangisnya sudah mereda, menyisakan perasaan yang teramat sedih. Untungnya Karam mau memanjakan saudara perempuannya ini, tidak membantah apa yang Asmara inginkan. Ya, selagi masih ada dalam jarak pandangnya, untuk Asmara, Karam akan melakukan apa pun.

Kini, sesuai yang sudah dideskripsikan, Asmara tidak mampu makan sendiri. Tangannya terus menggenggam sang abah. Maka dari itu, Karam yang berdiri di sebelah Asmara tengah memegang piring berisikan makanan untuk si gadis makan. Setidaknya lambung Asmara jangan sampai berulah atau nanti akan semakin repot.

"Cukup, Ram," ucap Asmara ketika sudah merasakan kenyang.

Karam membalas, "Yakin? Anda hanya makan sedikit."

"Yakin. Porsiku memang sedikit."

Tidak ingin memaksa, Karam pun menyisihkan makanan bekas Asmara itu ke nakas, lalu mengambilkan minum yang langsung diteguk oleh gadis itu ketika Karam memberikannya. Setelah selesai, Karam menawarkan hal lain untuk Asmara.

"Anda ingin makan buah apa, Ra? Pir atau apel?" tawar Karam.

Asmara menoleh ke arah pemuda yang sedari tadi sibuk memperhatikan jam makannya, bahkan rela menyuapi Asmara demi gadis itu mau makan. Tersenyum tipis, Asmara menjawab, "Terserah kamu saja."

"Apel, ya? Saya juga ingin apel." Asmara mengangguk. Kemudian, dengan semangat Karam melakukan kegiatan mengupas buah apel tersebut.

Sejujurnya, Karam sama seperti Asmara yang tidak berhenti merasakan sedih melihat sang abah terbaring di brankar tanpa tahu kapan akan bangun. Pemeriksaan selalu menghasilkan hal yang sama, bahkan kondisi abahnya lebih menurun dari sebelumnya.

Harap-harap sang abah masih bisa sembuh, supaya Karam bisa melihat senyum bahagia dari Asmara. Sejauh mereka bertemu, senyum dari gadis itu bahkan hanya tipis-tipis saja.

Karam juga ingin melihat Asmara bahagia.

"Ini, Ra," ujar Karam ketika selesai mengupas buah apelnya. Ia menyerahkan sepotong apel kepada Asmara, yang diterima gadis itu. "Hati-hati tertidur."

"Hahaha. Kamu pikir apel ini milik Putri Salju!"

Karam tersenyum tipis. Setelahnya, Karam menarik kursi lain yang kosong dan ditaruhnya di sebelah Asmara. Duduk di sebelah gadis itu, Karam juga memakan buah apel hasil potongannya. Tanpa izin, pemuda tersebut mengusap pelan rambut Asmara, dan sepertinya ini akan menjadi hal terfavorit pemuda itu.

Asmara tidak menepis apalagi menolak, dia tetap diam dengan menoleh sekilas. Karam berada di sini pun sudah membuat gadis itu sedikit tenang, walaupun tetap saja ada banyak hal yang ia takutkan, termasuk kehilangan.

Karam merogoh sakunya ketika sudah menghabiskan satu potong buah apelnya. Menemukan apa yang dirinya cari, lalu segera memberikannya kepada Asmara.

Melihat menggunakan sudut matanya, Asmara akhirnya beralih menatap sesuatu yang disodorkan Karam.

Karam berkata, "Gelang dari mendiang ambu saya untuk Anda sebelum meninggal. Maaf, sepertinya kekecilan karena Ambu tahunya Anda seorang gadis kecil. Anda ... mau sekadar menyimpannya tanpa dipakai? Pasti ambu saya tersenyum di sisi Tuhan jika Anda mau menerima dan menyimpan gelang itu."

Asmara menerima gelang pemberian Karam yang katanya dari sang ambu. "Pasti, Ram. Pasti akan kusimpan. Terima kasih, ya? Andai Ambu masih ada, aku bisa memeluknya."

Tangan besar Karam merangkul bahu kiri gadis itu dan mengelus-elus lembut lengan Asmara. Kepala Asmara pun ia sandarkan ke bahunya dengan tangan beralih mengusap pipi gadis tersebut.

***

Masih di situasi yang sama, sama-sama menunggu seseorang di rumah sakit, tetapi berbeda orang.

Jika Asmara dan Karam berada di rumah sakit di luar negeri untuk menemani abah mereka, berbeda dengan Andam yang tengah menunggu komanya Pupus di rumah sakit yang ada di Bandung ini. Sudah hampir empat hari sejak kecelakaan dan dinyatakan koma, pemuda yang notabenenya adalah mantan ketua dari Volas Gang ini belum juga membuka mata.

Jangankan membuka matanya, merespons suara Andam saja tidak mampu.

"Tuan, masih dengan kalimat yang sama, aku benar-benar minta maaf kepadamu," ucap Andam. "Aku telah membuat keputusan yang mungkin akan membuatmu marah ketika kamu bangun. Namun, aku ingin menjaga perasaan nonamu juga, Tuan. Maaf telah membuat kalian putus dan memanfaatkan tulisanmu untuk aku tiru dan membuat surat pernyataan putus kepada nonamu. Menurutku, ini yang terbaik untuk kalian. Aku sayang denganmu dan Mara, karena Mara pun belahan jiwamu. Sekali lagi, maaf, Tuan."

Menitihkan bulir beningnya, Andam sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit, karena gadis itu tetap pada pendirian di mana keputusan yang ia ambil sepihak ini sudah benar. Sejak awal, Pupus tidak mau Asmara tahu perihal penyakit yang dialaminya. Jika Asmara tahu pemuda yang ia sayang kini koma, pastilah gadis itu akan berlarut dalam kesedihan.

Menangisi dan merasa kecewa karena putus dengan Pupus mungkin sakitnya hanya sesaat dan Asmara masih bisa melupakan pemuda itu, tetapi jika menyangkut kesehatan Pupus, Andam yakin Asmara akan kurus dan tidak terurus, mengingat ikatan cinta keduanya sangatlah erat.

Mengusap air matanya karena ponsel Andam berdering, gadis itu mengambil benda pipih tersebut yang ia simpan di saku celana. Rupanya sang bunda yang melakukan panggilan video. Andam pun memastikan wajahnya terlihat baik-baik saja, walau matanya sudah sembab karena terus menangis.

Andam mengangkat panggilan video itu, kemudian terlihat jelas di layarnya wajah sang bunda. Senyum paksa gadis itu tampilkan, menyapa bundanya, "Hai, Bunda."

"Hai, Sayang. Bagaimana keadaan Pupus?" tanya Bunda Andam yang kelihatan khawatir dari layar.

Andam mengubah kameranya menjadi kamera belakang. Ia menunjukkan keadaan Pupus secara langsung, membuat sang bunda menutup mulutnya.

"Pupus baik-baik saja, 'kan? Apa kata Dokter, Ndam?"

"Dokter hanya berkata jika aku harus menguatkan doa. Dokter dan timnya akan berusaha semaksimal mungkin, walau sedikit tidak yakin. Ada benturan keras di kepalanya, Bunda, jadi untuk sekarang kondisinya belum bisa diprediksi lebih lanjut. Entah Tuan Pupus masih bisa diselamatkan atau Tuhan ingin bersamanya nanti. Namun, Andam tetap berdoa semoga Tuan Pupus sadar dalam waktu dekat dan cepat sembuh," jelas Andam.

Kamera tersebut masih mengarah pada Pupus, karena Andam tidak mau bundanya semakin sedih melihat dirinya yang sudah tidak tahan lagi menahan sakitnya, menahan derasnya air mengalir dari pelupuk mata.

Terlihat sang bunda mulai mengeluarkan air mata dan Andam segera bertanya, "Bunda? Bunda menangis?"

"Bunda tidak kuasa melihat keadaan Pupus, Sayang. Bunda harap kamu bisa menjaganya, ya? Berdoa terus, jangan putus."

"Pasti, Bunda. Pasti."

Menghela napas kasar dengan menyeka air matanya, Bunda Andam pun lebih memilih pamit untuk mengakhiri panggilan video mereka, daripada sedihnya berkelanjutan.

Bukan tidak sayang, tetapi Bunda Andam sangatlah perasa. Bahkan, ia jadi mengingat kejadian-kejadian yang membuatnya trauma. Definisi luka lama saja belum sembuh, ini sudah ditambah luka baru.

"Kalau begitu Bunda tutup, ya, video call-nya? Baik-baik di sana, Sayang."

"Siap, Bunda."

Panggilan terputus. Andam kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan kembali meraih tangan Pupus untuk digenggam dan dikecup. Menumpangkan kepalanya di punggung tangan pemuda itu, kemudian Andam bergumam, "Cepat sadar, ya, Tuan? Waktu sebelum aku ke luar negeri menemui Bunda, kamu berjanji akan membawaku ke bukit untuk mencari inspirasi menulis lagu, 'kan? Sekarang aku ada di sini. Aku akan menemanimu ke ujung dunia sekalipun."

[Bersambung]

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang