28. Lebih Baik Egois Untuk Kebaikannya

14 5 3
                                    

"Setidaknya aku pernah menjadi pemenang, walau bukan dijadikan sebagai pemilik."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Andam mengaduk kopi yang tengah ia buat untuk dijadikan selingan ketika dirinya berdebat dengan Pupus. Mengingat mereka tengah dirundung rasa canggung, mungkin minuman satu ini bisa menjadi pereda sesaat, walau nyatanya hati tetap berkata lain.

Selesai membuat kopi tersebut, Andam membawanya ke ruang tamu di mana sang tuan masih duduk di sana dengan kepala menunduk serta tangan mengepal. Rasanya jadi tidak enak melihat keadaan Pupus yang terlihat menyedihkan. Namun, Andam juga tidak ingin Pupus menyakiti perempuan lain.

Duduk di sebelah Pupus, Andam menepuk bahu pemuda itu. Lalu berkata, "Minumlah dulu, supaya amarahmu mereda. Maaf jika kedatanganku membuatmu tidak nyaman, Tuan."

Pupus akhirnya menoleh, menatap penuh binar ke arah Andam yang ternyata menatapnya dalam, seakan menyiratkan sesuatu yang tidak dapat Pupus tebak. Ada banyak ketulusan yang tidak pernah Andam tunjukkan, tetapi pemuda itu paham dengan tulusnya Andam.

Mengangguk, Pupus hanya melakukan itu tanpa mengiakan perintah dari Andam. Ia mengabaikan kopi yang dibuat sang nona, lalu mengambil sesuatu dari balik punggungnya.

Surat berukuran A4 yang merupakan surat keterangan penyakitnya serta hasil dari pemeriksaan terakhir. Surat itu terakhir kali Pupus dapatkan ketika ia ditangani sendirian, lebih tepatnya adalah ketika dirinya mengingkari janji dengan Asmara untuk touring dan pergi ke Bogor bersama.

Hari yang seharusnya menjadi hari baik, berbanding terbalik dengan kenyataannya. Penyakit yang dimiliki Pupus dinyatakan semakin parah dan sulit untuk diobati.

"Asmaku semakin parah dan entah kapan Tuhan merenggut nyawaku, aku hanya bisa berserah diri, Nona. Maka dari itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan kebersamaanku dengan Nona Asmara," ucap Pupus. Jika penyakit seperti kanker mungkin masih bisa melakukan kemoterapi. Jika penyakit itu masih stadium awal pun masih bisa disembuhkan. Jika penyakitnya adalah gagal ginjal, mungkin Pupus masih bisa melakukan cuci darah.

Namun, ini asma. Asma bawaan dari lahir yang mana Pupus sendiri sulit mengendalikannya. Tubuhnya sangat tidak bersahabat.

Walau yang namanya penyakit bukanlah suatu keinginan, melainkan sesuatu yang menyusahkan. Entah itu kanker, gagal ginjal, atau asma sekalipun, ujung-ujungnya tetap merenggut nyawa.

Selesai membaca surat keterangan dan hasil dari pemeriksaan terakhir, Andam menatap serius ke arah Pupus dengan tangan yang ia tempelkan di bahu pemuda itu.

"Tuan, lihat aku!" pinta Andam. Pupus menurutinya. "Kamu masih rutin memakai nebulizer, 'kan?"

Kedikan bahu pun Pupus berikan. "Aku rasa menggunakan itu pun tetap tidak ada pengaruhnya. Aku ini penyakitan, dan hanya menunggu Tuhan mengambil nyawaku saja."

Plak.

Andam menabok pelan lengan pemuda itu. "Sembarangan saja kalau bicara."

"Memang kenyataannya seperti itu."

Mengembuskan napas, Andam tidak mau lagi berdebat panjang dengan tuannya ini. Lagi pula Pupus juga susah sekali diatur. Selama ini, sudah sering Andam mengingatkan pemuda itu demi kesehatannya, tetapi tetap saja lalai.

Andam yang tidak mau merumitkan penyakit Pupus lagi pun akhirnya melengkungkan senyum menghadap sang tuan. Ia memegang kedua bahu pemuda itu dan menguatkannya.

"Tidak apa. Kita bisa mati bersama. Kamu dan aku memiliki penyakit yang sama, bahkan aku lebih parah. Jika kamu mati, maka tidak lama aku pun mati. Dan, begitu pun sebaliknya," ujar Andam yang terdengar menyedihkan, bukan menguatkan.

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang