20. Sudah Berjuang, tetapi Memilih Menyerah

30 5 0
                                    

"Kita bagai abu yang akan berpisah ketika tertiup angin. Kita hanya kelabu di atas hitam dengan putih yang tidak nyata. Kita bukan rumah, melainkan lava di perut ancala."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Asmara tengah menelungkupkan tubuhnya di atas kasur dengan pikiran yang dipenuhi sang tuan. Entah mengapa, kalimat terakhir yang Pupus ucapkan mampu membuatnya berpikir hingga seserius sekarang.

Apa maksudnya permintaan terakhir?

Sejak awal Asmara memang sudah meminta Pupus untuk bergabung dengan timnya, bahkan dari zaman SMA pun pemuda itu sudah diminta untuk berkontribusi menjadi komposer, tetapi baru tadi Asmara mendengar Pupus memohon padanya untuk dijadikan komposer.

Tidak mau memusingkan hal itu, Asmara memilih untuk mengirim pesan saja kepada tuannya. Terpenting sekarang adalah Asmara masih bisa melihat Pupus dan tahu keadaan pemuda tersebut. Gadis itu pikir Pupus akan pergi tanpa pamit, jadi sedikit khawatir karena Asmara juga baru sampai di Bandung. Masa iya mereka harus berpisah kembali?

Anda

Tuan, kamu sedang apa? Untuk besok kita langsung ke studio rekaman saja, ya? Kamu bisa jemput aku pukul dua siang.

Asmara tersenyum setelah mengirim pesan tersebut kepada tuannya tanpa mengecek profil atau setidaknya nama kontak si pemilik nomor, hingga tidak sampai satu menit si pemilik nomor menghubunginya. Senyumnya mengembang, karena gadis itu mengira bahwa tuannyalah yang menelepon.

Setelah diangkat, suara pemuda asing masuk ke telinga Asmara dengan kata-kata datar. "Saya sudah mengatakannya kepada Anda bahwa saya bisa Anda temui di mana saja, asal atur jadwal. Jika dadakan begini saya tidak bisa."

Membelalakkan mata, suara Asmara seakan tercekat. Ia melihat layar ponselnya di mana menunjukkan nama 'Karam Laksamana' di sana, membuat gadis tersebut mengetuk-ngetuk benda pipih itu ke kening, merasa bodoh.

Alhasil, tanpa membalas perkataan Karam yang menunggu di sebrang, Asmara mematikan panggilan tersebut sepihak, menetralkan jantungnya lebih dulu karena ini terlalu tiba-tiba.

"Ah, bodoh sekali. Bisa-bisanya aku salah kirim," ucap Asmara setelah berhasil mematikan panggilan itu.

Melihat sekali lagi nama di kontaknya itu, Asmara memang sempat mengirim pesan ke Karam sebelum Pupus pulang, tetapi tidak dibalas. Ketika Asmara hendak mengirim pesan kepada tuannya, pesan tersebut malah terkirim ke nomor Karam yang kebetulan room chat-nya berada di bawah nomor Pupus.

Salah siapa?

Salahkan Asmara yang tidak mengecek lagi nama kontaknya.

Menarik napas dalam-dalam, Asmara mengembuskannya perlahan dan ia lakukan selama dua puluh menit. Di menit ke-21, gadis itu mengelus dada untuk memberanikan diri menelepon Karam kembali. Nasi sudah menjadi bubur, terlanjur Asmara salah kirim dan dibaca oleh Karam, ia pun harus bisa membereskannya.

Berdeham pelan, Asmara menekan tombol panggilan di layar pipihnya itu dan langsung menempelkannya ke telinga. Tidak lama untuk mendapatkan balasan, Karam segera mengangkat panggilan dari Asmara.

"Mengapa? Sudah mau mengatur jadwal dengan saya untuk bertemu?" tanya Karam tanpa basa-basi dari sebrang.

Asmara kesal bukan main, ia meninju bantal tidak bersalah dengan rahang yang sudah mengeras, gigi bergemeletuk, serta napas memburu sudah seperti ingin menerkam Karam.

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang