4. Asmara si Rengganis

49 12 2
                                    

"Mereka yang memilih pergi adalah mereka yang sadar diri. Sadar karena keberadaannya tidak akan pernah terlihat oleh mata yang sibuk memandang sosok lain."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Pupus berhasil menyelesaikan lagu yang ia tulis hari ini dengan inspirasi yang sepertinya sangat spesial. Inspirasi yang telah lama hilang setelah hampir lima tahun, kini datang kembali bersama dengan sumbernya. Hanya dengan melihat gadis di sebelahnya ini, sebenarnya inspirasi Pupus sudah bercabang.

Namun, tidak mungkin pemuda itu berkata bahwa Asmara adalah sumber inspirasi paling dicari, bukan?

"Hei! Kamu melihat apa, Tuan? Ada sesuatu di wajahku?" Asmara menepuk bahu Pupus karena pemuda itu terus menatapnya tanpa kedip.

"Cantik," gumam Pupus secara sadar. Lalu masih dengan menatap Asmara ia berkata, "Wajahmu terlalu sesuatu."

Dipukulnya lengan Pupus yang membuat pemuda itu sedikit mengaduh. "Jangan sok membuatku salah tingkah. Gombalanmu tidak mempan, Tuan."

"Siapa yang menggombal? Itu fakta."

Asmara menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia sedikit salah tingkah, hanya sedikit karena biasanya gadis itu yang menggoda Pupus. Namun kini malah Pupus yang mampu membuat perut Asmara seakan digoncang gejolak cinta. Ah, jika seperti ini, Asmara tidak akan pernah bosan di Bandung.

Asmara tidak akan pernah meninggalkan Bandung lagi karena salah satu penduduknya selalu membuat gadis itu merasa rindu. Buktinya ia kembali walau luka lamanya masih belum tertutup rapi. Ya, obatnya ada di sini. Asmara akan jauh lebih sakit jika tidak kembali ke kota ini dan menemui si pemilik obatnya.

"Tuan?"

"Diriku, Nona?"

"Hari sudah hampir siang. Mataharinya pun mulai naik lebih tinggi ke permukaan. Kamu masih mau di sini?" tanya Asmara sembari menatap ke atas yang mana cahaya mataharinya menyorot tepat di atas kepala mereka.

Pupus diam. Namun gerakan tangannya yang mulai membuka jaket yang ia pakai mengalihkan perhatian Asmara. Gadis itu berkerut bingung melihat Pupus yang mulai memakaikan jaketnya ke tubuh Asmara tanpa izin.

Menatap Asmara dengan sudut matanya, Pupus terlihat mengulas senyum tipis setelah selesai memakaikan jaketnya di tubuh gadis itu. Lalu terkekeh pelan karena perlakuan Pupus sangatlah klise menurut Asmara.

"Mengapa terkekeh, Nona?" tanya Pupus.

"Lucu saja. Mengapa kamu memberiku jaket? Klise sekali. Hujan saja tidak," balas Asmara.

Pupus mengedikkan bahu acuh. "Klise itu ketika aku memberimu jaket di saat hari menangis. Kali ini aku takut kulitmu terbakar, jadi kuberi jaketku untukmu. Lagi pula pakaianmu itu kurang bahan sekali. Bahumu sudah pasti terbakar matahari. Mana tidak dibalut apa-apa."

Masih disertai kekehan, Asmara membalas, "Suka-suka Tuan Pupus saja. Jadi pertanyaanku dijawab apa olehmu, hm?"

"Mari pulang."

Pupus meraih tangan Asmara untuk digenggamnya menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari mereka. Sama seperti Pupus memperlakukan seorang Andam, ketika Asmara masuk ke mobil pun Pupus membukakan pintu untuk gadis itu dan melindungi kepala gadis itu supaya tidak terantuk.

Perlakuan Pupus memang sederhana, tetapi pasti akan membekas untuk siapa pun yang menganggap perlakuannya manis.

Tidak berlama-lama lagi Pupus mengitari mobil setelah melayani nonanya dan duduk di kursi kemudi. Setelah semua aman, Pupus melajukan mobil menuju perjalanan pulang karena mungkin untuk hari ini sudah cukup. Pemuda itu juga tidak mau mengganggu waktu istirahat Asmara, karena pastinya gadis itu lelah.

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang