12. Masih Belum Mampu Untuk Menyatu

20 5 1
                                    

"Rindu yang paling terasa adalah ketika kita tidak bisa lagi melihat orang yang kita sayang karena orang tersebut sudah didekap oleh semesta."

- Asmara Sekar Alstroemeria -

***

Asmara tidak berhenti menatap layar dari benda pipih yang tengah gadis itu pegang. Sedari dirinya pulang, Asmara tidak berhenti memikirkan sesuatu yang terus hinggap dalam otaknya ini. Kontak baru di ponsel yang baru ia tambahkan dengan nama 'Karam Laksamana' terpampang jelas di depan layar, dengan profil yang tidak bergambar. Ia mendapatkan nomor itu pun dari Tangkis, karena kebetulan Tangkis adalah sahabat Karam.

Ingin rasanya memulai obrolan online, tetapi Asmara begitu gengsi jika harus mengatur jadwal kapan mereka akan bertemu. "Masa iya aku chat dia dan langsung mengaku bahwa aku adalah anak Abah? Lalu sok mengenalnya dan mengajak bertemu? Ah, tidak-tidak! Seharusnya dia yang memulai dulu, mengapa harus aku?"

Asmara mengembuskan napasnya kasar, lalu naik ke atas kasur dan membaringkan tubuhnya di tempat empuk tersebut. Gadis itu meletakkan ponselnya di sebelah dan menatap langit-langit kamar.

"Apa aku siap jika harus melihat wajah Karam, Tuhan?" tanya Asmara kepada Sang Pencipta. Mengusap wajah frustrasi, gadis tersebut kembali duduk dan meraih ponselnya kembali.

Di saat Asmara hendak mengirim pesan sapaan untuk Karam, sebuah pesan baru masuk. Ternyata sang abah, membuat gadis itu segera membuka room chat-nya.

Abah

Mara? Gimana? Udah ketemu Karam? Abah telpon kamu, ya?

Baru juga Asmara ingin membalas, panggilan masuk dari abahnya pun terlihat di layar benda pipih tersebut. Menarik napas dalam lalu menghelanya sedikit jengah, Asmara mengangkat panggilan tersebut. Ia berusaha meyakinkan hatinya bahwa dia pasti bisa mencari alasan.

Jujur, dari hati Asmara sendiri memang belum tergerak untuk menemui anak dari mama tirinya yang sudah meninggal itu.

"Malam, Bah?" sapa Asmara lebih dulu untuk memulai obrolan. Sebenarnya jika topiknya hanya mengenai Karam, Karam, dan Karam, Asmara sangat malas. Namun sebagai anak, Asmara juga perlu menuruti keinginan abahnya.

"Malam, Mara. Jadi apa jawabannya?" tanya abah Asmara to the point.

Asmara memasang wajah lesu tanpa diketahui oleh sang abah. "Belum, Bah. Mara masih butuh istirahat," alibi Asmara. Nyatanya gadis itu memang belum ada niatan untuk mencari apalagi harus bertemu.

"Kenapa belum, Mara? Jangan sampai kamu menyesal," kata abah Asmara.

Asmara memutar bola matanya malas. Batinnya benar-benar dibuat muak atas hal ini. Dadanya bergemuruh ingin marah, tetapi tidak bisa karena Asmara sudah lelah. Tangan sebelah kiri yang berada di atas kasur sudah mengepal kuat, menahan rasa yang ingin sekali ia keluarkan sekarang.

Walau gadis itu berkata tidak mau, tetap saja abahnya memaksa dengan alasan seperti yang disebutkan di atas bahwa jangan sampai Asmara menyesal.

Berdeham pelan, Asmara membalas, "Tapi, Bah. Sepertinya Karam juga tidak mau bertemu Mara."

"Kata siapa? Karam mau ketemu kamu, Mara. Tapi harus kamu duluan yang ajak dan memulai semuanya. Kan, selama ini kamu yang jaga jarak sama Karam dan ambunya." Nada abah Asmara terdengar mendesak gadis itu, yang mana membuat Asmara semakin tidak suka.

Asmara berkerut bingung. "Mengapa harus Mara?"

"Karena kamu anak Abah."

"Tidak ada urusannya, Bah. Mau Mara atau Karam yang anak Abah, Mara tahu kalau Karam pasti juga tidak menyukai Mara. Anak mana yang suka ketika melihat orang tua mereka lebih sayang anak tirinya? Dari dulu Mara selalu mengalah. Abah meminta izin untuk menikah lagi pun Mara tidak melarang asal jangan sangkut-pautkan urusan mereka dengan Mara. Sekarang apa? Abah malah menyuruh Mara untuk mencari Karam. Mara lelah, Bah."

Sakit, rasanya Asmara tidak kuasa mengatakan itu tetapi hatinya terus meminta untuk keluarkan saja unek-uneknya. Alhasil, Asmara keceplosan. Dadanya sedari awal bicara dengan abahnya juga sudah bergemuruh tidak keruan, merasakan sesak yang hanya ia saja yang tahu rasanya. Akhirnya Asmara berhasil mengeluarkan rasa yang ia pendam.

Asmara menghargai abahnya, tetapi apakah tidak bisa jika abahnya juga menghargai keputusan Asmara sejak awal mereka berdiskusi mengenai keluarga baru, di mana ia tidak mau kenal dengan mama tirinya ataupun keluarga dari mama tiri tersebut? Nyatanya, Asmara tetap tidak bisa menolak sang abah.

Tetesan bulir bening dari pelupuk mata yang sejak tadi sudah ditahannya luruh begitu saja, menambah rasa sakit di hati. Asmara menggertakkan gigi, menggigit bibir bawah, lalu berkata untuk terakhir kalinya, "Sudahlah, Bah. Mara sedang lelah. Jika ingin membahas Karam, nanti lagi saja. Mara ingin istirahat. Abah juga jangan lupa untuk istirahat. Malam."

Asmara memutuskan panggilan sepihak, lalu menonaktifkan ponselnya supaya sang abah tidak dapat menghubungi. Dengan perasaan yang sangat sesak, Asmara beralih mengambil jaketnya dan menyambar kunci mobil. Tidak peduli hujan deras malam ini, Asmara akan pergi mengunjungi makam ambunya, ambu kandung gadis itu yang telah tiada.

***

Tidak peduli kilatan-kilatan menusuk bumi, tidak peduli tangis Kota Bandung lebih deras daripada dirinya, tidak peduli gelapnya malam menghantui, tidak peduli tubuhnya kedinginan demi mendapat kehangatan dari batu nisan ini, seorang gadis tidak peduli lagi dengan dunianya yang sekarang.

Terpenting hatinya tenang, pikirannya bisa lebih terbuka daripada sebelumnya.

Bibir yang dibasahi air dari langit tersebut bergetar bersamaan bulir yang jatuh semakin deras dari pelupuk mata. Asmara memeluk erat nisan bertuliskan nama sang ambu, yang selama ini selalu ia rindukan. Baju berlapis jaket yang dipakai Asmara sudah basah, yang mana si pemakainya sama sekali tidak memedulikan hal penting dalam hidupnya, yaitu kesehatannya sendiri.

"Ambu, Mara butuh Ambu di sisi Mara. Mara tidak mau bertemu anak dari mama tiri Mara, Ambu. Apa salah jika Mara menolak permintaan Abah? Mara tidak akan siap melihat wajah seseorang yang sudah merebut kasih sayang Abah, Ambu," gumam Asmara dengan bibir gemetar hebat, ditambah isakan di sela-sela ia mengatakan setiap kalimat awalnya.

"Ambu, Ambu tahu rasanya jadi Mara, 'kan? Mengapa Abah memilih menikah lagi saat itu? Abah tidak mengerti bagaimana terpuruknya Mara, 'kan, Mbu? Setiap pulang sekolah, Mara sempatkan untuk ke makam Ambu demi bisa bercerita panjang-lebar."

Alasan utama Asmara kembali ke Kota Bandung hanya untuk bertemu Karam. Namun nyatanya masih ada rasa tidak suka jika harus bertemu laki-laki yang bahkan Asmara sendiri tidak tahu wujudnya seperti apa.

Anehnya, ternyata Tangkis adalah sahabat Karam yang notabenenya merupakan anak dari mama tiri Asmara.

Asmara pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan menggantungkan dirinya di plafon rumah. Namun karena abahnya cepat datang, maka Asmara terselamatkan. Alhasil, gadis itu pindah dari Bandung ke Paris untuk melakukan pengobatan psikis, sekaligus abahnya mendirikan studio rekaman baru.

Dengan napas tersengal hebat, Asmara masih berusaha untuk bergumam, "Ambu tidak ada niatan datang ke mimpi Mara? Mara rindu sama Ambu. Mara ingin memeluk Ambu."

Kening Asmara menempel di nisan ambunya. Kemudian dengan suara terlampau kecil, gadis itu berkata, "Apa Mara ikut Ambu saja, ya?"

[Bersambung]

Allow, udah lama gak nyapa, ehehe. Gimana part ini? Aku paling gak bisa nulis yang sedih-sedih, jadi ala kadarnya ajalah, ya? Semoga suka deh sama ceritaku yang satu ini.

Oh, ya, jangan lupa mampir ke sosmed aku yang isinya konten-konten tentang cerita-ceritaku. Barangkali mau mampir ke cerita selain ini.

TINGGALIN JEJAK WOILAHHHH!

Sampai jumpa di part selanjutnya..

Pupus Asmara, 2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang