Semua yang telingaku dengar, sebelum gemas suaramu, keseriusan renta. Esok tak lebih baik dari kebosanan berulang hari ini, memaku kerja dan memaklumi usia. Setiap hari, dan terus berganti hari, orang-orang membicarakan keretakan dinding rumah tangga.Sebelum fasih kusebut namamu, mulutku gua gelap Kantemo di Meksiko. Ular berbisa hidup abadi di dalamnya: akan ada yang sakit hati bila kusebut namanya. Kegelapan sepi sendiri, mungkin abadi.
Tapi sejak kuakrabi suaramu, telingaku seolah menangkap desir Tulip bulan Mei di Keukenkof. Angan-anganku sendiri berlarian ke jauh, mungkin ke taman Lodhi. Mendengarkan pujian di pelataran makam Sayyid bertemankan rupa-rupa warna bunga.
Sejak kuselami ceritamu, hanya gambar hitam putih di kepalaku. Kata-katamu kapsul waktu ke suatu zaman ketika bahagia ialah satu-satunya yang bernyawa. Nanti dan dulu ternyata sama-sama tua.
Sejak wajahmu menangkap mataku, engkau di angan tidak lebih indah dari nyatamu di ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebentar yang Berarti Lama
PoetryAku bangun tidur. Kesadaran adalah listrik padam. Putusannya memejamkan cerita hitam putih kotak dalam kecil tabung mimpi semalam. Kuusap mataku, sekali lalu berkali-kali- masihkah aku mampu membaca ucapan selamat pagimu: teramat kabur. Tidak jelas...