Kota ini tidak sepelan yang kubayangkan. Kubaca berita seorang lelaki yang dihabisi umur jatuh ke trotoar. Kakinya tak kuat menyangga gopoh langkah. Ia sendiri atau merasa sendirian, aku tak tahu. Pengendara motor menabraknya, lalu kabur. Sepagi itu, semua orang dipecuti jadwal kerja. Kebutuhan menolak tubuh berhenti. Takut potong gaji atau romansa Yogya sebatas doa atau puisi dan bukan nasi.Kota ini tidak sepelan yang kubayangkan. Kudengar dari kawan dua pedagang bertarung hebat dengan pisau di tangan. Kecurigaan menutupi hati keduanya. Dari mata turun ke tanah. Dari mata masuk ke penjara.
Kota ini tidak sepelan yang kubayangkan. Kemarin lalu sampah disebar bagai tabur bunga di pemakaman. TPS penuh oleh sampah orang asing. Dan mereka mengutuk diri: kehilangan tempat sampah di rumah sendiri.
Kota ini tidak sepelan yang kubayangkan. Jantung kota berdegub tak mengenal lelap waktu. Orang luar tak segan berdamai dengan urusan. Kesadaran putra kota kejar-kejaran dengan himpit keadaan.
Apakah kota ini tidak memahami bahwa dalam setiap kita selalu memiliki luka kecil di sini-sana meskipun bibir hanya merapal: perih ini tidak ada artinya.
Apakah kota ini mengaduhkanmu juga? Apakah kota ini mengamini ingin kita? Apakah kota ini mampu menyisakan sedikit waktu untuk kita yang selalu kehilangan kesempatan sebelum sempat menyempatkan?
Yogyakarta, 3 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebentar yang Berarti Lama
PuisiAku bangun tidur. Kesadaran adalah listrik padam. Putusannya memejamkan cerita hitam putih kotak dalam kecil tabung mimpi semalam. Kuusap mataku, sekali lalu berkali-kali- masihkah aku mampu membaca ucapan selamat pagimu: teramat kabur. Tidak jelas...