Hujan ini seperti tak putus menangis di pertengahan Januari. Lampu seluruh kota padam. Dedaunan dan pepohonan menerima baik angin ribut, bertahan diam. Malam ini keributan menjadi-jadi.
Aku meminta maaf pada lilin. Terbakar dirinya sendiri habis sebagai pilihan kedua. Mungkin pendar tak seberapa itu percikan amarah yang senantiasa ditahan. Tapi aku tetap membutuhkan lilin, agar cukup bagiku melamati keadaan.
Bencana benar-benar berlipat ganda. Dalam kepalaku belum selesai kubaca percakapan terakhir kita. Masih ada bagian yang perlu kuselesaikan. Lilin tak mungkin menyala, takut membakar habis tera kata-katamu.
Gelap menelan seluruh diriku, di luar kulit di dalam kukalut. Kuraba-raba lagi ketakutan. Adakah takut itu nyata saat begini? Ataukah kutakut sebenarnya jika malam jahanam ini mengunjungimu?
Aku katupkan mata - atau terjaga sama-sama buta - agar bisa kulipat malam ini seketika esok hari. Tak mampu sungguh tak mampu. Aku sadari bencana malam ini tidak lebih dari tanda alam agar petunjuk diturunkan: aku lebih takut saat aku tanpamu.
Salatiga, 20 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebentar yang Berarti Lama
ŞiirAku bangun tidur. Kesadaran adalah listrik padam. Putusannya memejamkan cerita hitam putih kotak dalam kecil tabung mimpi semalam. Kuusap mataku, sekali lalu berkali-kali- masihkah aku mampu membaca ucapan selamat pagimu: teramat kabur. Tidak jelas...