Daun hijau menjulur meniti waktu
agar sampai ke satu meja dengan beberapa tumpuk buku, berharap agar huruf-hurufnya mengalir bagai mata air di pasang sungai: dedaunan yang disirami bahasa.Segelas kopi menjaga penjaga toko yang kebingungan agar tidak menyulut ledakan diam di antara deret buku: Apakah Pramoedya dan Goenawan bisa damai bila disandingkan dalam satu barisan.
Para pengunjung - yang tak kukenali siapa - mengatakan kenapa seni dan ilmu pengetahuan perlu disekat dalam kamar yang berbeda. Dipetiklah nama-nama dan teorema dari dunia jauh sebagai kudapan. Kucuri satu kritik: bagaimana mungkin manusia melayari luas laut tanpa menyiasati seni bentukan perahu?
Semua tetap dalam peredarannya sampai langit memerah rekah di barat. Semua harus usai saat itu juga dengan satu puisi kecil dalam sebuah puisi yang agak kecil: harapanku hijau meniti panjang doa biar sampai pada meja di teras toko buku di mana engkau merawat diam. Membawa cerita buku-buku dan segala nama yang asing kaukenal, aku ingin menjadi satu alasan kenapa engkau ingin berlama-lama di teras tanpa merasa asing dengan kopi dan diam yang tak pernah bisa engkau terjemahkan.
Yogyakarta, 2 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebentar yang Berarti Lama
PuisiAku bangun tidur. Kesadaran adalah listrik padam. Putusannya memejamkan cerita hitam putih kotak dalam kecil tabung mimpi semalam. Kuusap mataku, sekali lalu berkali-kali- masihkah aku mampu membaca ucapan selamat pagimu: teramat kabur. Tidak jelas...