Bab 21 : Tatap-Tatap Penuh Penghakiman.

25 1 2
                                    


__________

Rasa-rasanya, Jimin menjadi begitu sangsi acap kali semesta mendatangkan bahagia dengan tiba-tiba dalam hidupnya. Sebab setelahnya, akan ada hal berharga dalam hidupnya yang di renggut oleh semesta untuk mengganti bahagia yang diberikan cuma-cuma.

Kini, hal paling berharga yang Jimin pertahankan mati-matian tidak bisa lagi Jimin genggam dalam rengkuh hangatnya. Jungkook, adiknya. Satu-satunya harta berharga yang menjadi alasannya bertopang kuat meski semesta berkali-kali menghancurkan hidupnya itu tidak lagi bisa Jimin lihat di setiap pagi sebelum ia memulai rutinitasnya yang melelahkan. Jimin tidak bisa lagi mendengar tiap-tiap umpatan kasar dan wajah menggemaskan adiknya saat mengomel dengan sarkas. Jimin tidak bisa lagi menyaksikan sang adik bermain bersama Kimchi-anak anjing yang ia pungut dipinggir jalan.

Tepat satu minggu setelah malam di mana ia melepas Jungkook untuk pergi bersama Jooha, tiap-tiap hari yang Jimin lalui seolah berjalan begitu lama dan terasa hambar. Tidak ada lagi binar-binar asa dari sepasang manik sabit Jimin yang selalu terlihat sendu. Yang pemuda itu lakukan setiap harinya adalah bekerja hingga tubuhnya nyaris mati rasa. Jimin hanya terus bekerja dan bekerja untuk melupakan semua hal yang memberatkan pikirannya.

"Apa aku memang sudah gila, ya?"

Pagi itu sebelum memulai rutinitasnya, Jimin terdiam cukup lama di kamar mandi. Ia hanya diam dengan mata yang tak lepas memandangi bayangannya yang terpantul dicermin wastafel.

Bayangan yang memperlihatkan seberapa kacau dirinya. Manik sabitnya yang tampak redup tanpa binar. Lingkar hitam pada bawah matanya yang terlihat mengerikan. Wajah kuyu dengan tubuh kurus tak terawat. Ah, dan jangan lupakan goresan-goresan mengerikan yang terlihat dari pergelangan tangan hingga hampir menyentuh tulang sikunya.

Tidak. Jimin tidak pernah sadar akan luka-luka tersebut. Pemuda itu hanya mengingat hal-hal melelahkan yang ia lakukan sepanjang hari untuk melupakan Jungkook dalam pikirannya. Tetapi pagi ini, setelah memaksa matanya untuk terjaga satu malam penuh tanpa tidur, Jimin menyadari penyebab luka-luka goresan yang tercipta ditangannya.

'Kau memang sudah gila, Ryu Jimin.'

Ah, lagi-lagi Jimin menemukan dirinya dalam kondisi mengerikan. Sebab, kini Jimin bisa menyaksikan bagaimana bayangannya di kaca sana mulai berbicara dengan raut wajah angkuh dan senyum miring yang tersungging.

"Tidak. Kau tidak nyata. Kau hanya refleksi dari bayanganku," ucap Jimin pada bayang tubuhnya sendiri. Manik sabitnya berkilat tajam menatap manik serupa dengannya yang terpantul dari cermin.

'Aku memang tidak nyata. Tapi aku nyata dalam dirimu, Jimin. Aku adalah sisi lain dari dirimu yang tidak kau kehendaki.'

Jimin menggeleng ribut sembari memukuli telinganya sendiri. Berusaha menyangkal halusinasinya yang tidak nyata. Ia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya untuk tetap waras saat dirinya nyaris gila perlahan-lahan.

'Jangan menyangkal lagi. Kau memang sudah gila. Lihat saja tanganmu. Cih, mengiris kulitmu sendiri untuk mengalihkan rasa sakit. Apa itu namanya kalau tidak gila?'

Jimin alihkan pandangannya pada tangannya yang dipenuhi luka sayatan mengerikan. Netranya bergerak liar dengan pandangan mengabur. Kemudian kembali menggeleng sembari berseru keras pada sosok bayangannya.

"Tidak! Aku tidak gila! Kau yang membuat luka-luka ini!" seru Jimin dengan manik yang berkilat tajam pada bayang tubuhnya di cermin.

'Ya, itu benar. Aku yang membuat luka-luka itu. Dan aku adalah kau, Ryu Jimin.'

"Diam! Kau tidak nyata!"

'Aku adalah kau, Jimin. Dan kau adalah aku.'

"HENTIKAN!!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang