---Pagi itu, dapur rumah keluarga Hamka seperti biasa sudah ramai dengan suara kompor menyala, panci mendidih, dan aroma tumisan bawang putih yang menyambut siapa pun yang lewat. Di tengah kekacauan kecil itu, berdiri satu-satunya manusia paling stabil dalam rumah itu: Mbak Lala.
Mbak Lala adalah jenis orang yang bisa menyiapkan tiga hal berbeda, menyapu, menyetrika, sambil tetap punya waktu untuk berkata, "Nduk Hera udah sarapan, belum?" dengan nada yang selalu hangat, seperti matahari jam sembilan pagi.
Pagi ini, Hera datang ke dapur sambil menyeret sandal. Rambutnya belum disisir, dan wajahnya tampak kusut seperti halaman buku yang habis diremas.
"Telur mata sapi atau dadar, Nduk?" tanya Mbak Lala begitu melihat Hera masuk.
"Telur mata sapi, setengah matang," gumam Hera, lalu duduk di bangku dekat kulkas.
Mbak Lala langsung bergerak, cekatan dan penuh keakraban. Tak ada suara tambahan. Tak ada basa-basi. Tapi keheningan itu justru terasa paling manusiawi dibanding interaksi rumah ini lainnya.
"Nduk Hera semalem tidur larut ya, matanya lelah banget kayaknya?" tanya Mbak Lala sambil membalik telurnya.
Hera mengangguk. "Nggak bisa tidur. Kebanyakan mikir."
"Mikir apa, toh?"
Hera diam sebentar, lalu mengangkat bahu dengan lemas. "Hidup."
Mbak Lala terkekeh pelan. "Walah, anak umur tujuh belas tahun udah bisa mikirin hidup, ya." Ujar Mbak Lala dengan sedikit gurauan
"Mbak Lala dulu umur tujuh belas mikirin apa?" tanya Hera, suaranya pelan, tapi ada ketertarikan tulus di dalamnya.
Hera ingin tau apa yang dilakukan orang lain saat seumuran dengan dirinya, ia penasaran ia ingin tahu lebih.
Mbak Lala berhenti sejenak, lalu tersenyum. "Mikirin gimana caranya bisa kabur dari rumah tanpa ketauan."
Hera menoleh, kaget. "Kabur?"
"Kabur mbak?" Ulang Hera menatap kaget Mbak Lala
"Iya. Bapak saya dulu galaknya minta ampun, suka main tangan juga. Saya dulu pengin jadi penjahit, tapi malah disuruh kerja ladang sama nikah muda sama juragan sawit. Ya saya kabur ke kota. Numpang di rumah saudara. Akhirnya malah jadi pembantu. Tapi ya nggak nyesel."
"Kenapa nggak nyesel?" Tanya Hera penasaran.
"Soalnya saya nemu rumah ini. Bisa ketemu anak kaya Nduk Hera ini, yang hebat bisa bertahan sampe sekarang."
Hera terdiam. Kata-kata Mbak Lala tadi sederhana, tapi masuk ke hatinya seperti teh hangat di pagi yang dingin.
"Mbak Lala enggak pernah pengin keluar dari sini?"
"Lho, ini rumah saya juga kok. Meski bukan atas nama saya, tapi tempat ini sudah isinya banyak cerita." Canda mbak Lala dengan tetap fokus menyiapkan makanan untuk Hera
Mbak Lala menyajikan telur mata sapi di atas piring putih, lalu meletakkannya di depan Hera.
"Kadang rumah bukan tempat yang paling nyaman, Nduk. Tapi rumah itu tempat di mana kita bisa bangun kenyamanan sendiri. Meskipun butuh waktu. Meskipun harus terlauka dulu."
Hera menatap mata Mbak Lala. Perempuan itu tidak pandai menyusun kata puitis seperti penulis buku motivasi, tapi caranya bicara... entah kenapa menyembuhkan.
"Makasih, Mbak," ucap Hera akhirnya.
Mbak Lala tersenyum sambil membersihkan tangan. "Sama-sama. Makan dulu ya, Nduk. Biar nggak mikir yang aneh-aneh bisa jernih kaya sungai di kampung Mbak."
Hera terkekeh lalu mengangguk. Hari itu, ia makan tanpa harus membangun tembok pertahanan. Tanpa drama, tanpa topeng. Hanya telur, nasi, dan satu orang yang tak pernah memaksanya untuk jadi 'baik-baik saja'.
Dan kadang, itu lebih dari cukup.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Teen FictionHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...