Part 1

575 32 9
                                    

Akhirnya kakiku menginjak tanah Andalusia. Cordoba adalah tempat yang ingin sekali kukunjungi. Sejarahnya membuatku ingin sekali menuliskannya di buku harianku. Aku suka sekali menulis baik cerpen, puisi, atau macam-macam artikel. Cordoba harus kutulis kisahnya di buku harianku yang niatnya ingin kujadikan sebuah buku panduan traveling.

Sesampainya di hotel tempatku menginap, aku langsung mandi dan bergegas menuju The Roman Bridge of Cordoba. Perjalanan menuju jembatan itu kunikmati dengan berjalan kaki menyaksikan orang-orang berlalu lalang sambil mendengarkan lagu-lagu One Direction lewat earphone. Aku makin semangat setelah melewati Mezquita yang tak jauh dari Puente Romano. Aku berlari kecil agar cepat sampai di Puente Romano. Merpati-merpati beterbangan ketika mendengar derak langkahku.

Puente Romano ada di depan mataku kini. Kuabadikan beberapa sudut jembatan ini sambil mengingat kembali sejarahnya yang pernah kubaca di sebuah buku. Mulai kutulis suasana kota indah ini, perasaanku saat melihat langsung Puente Romano yang melintasi sungai Guadalquivir. Di saat yang sama seseorang berhenti di sebelahku dan menikmati pemandangan langit biru yang begitu sempurna. Aku melirik sekilas ke sebelahku. Cowok imut dengan rahang tegas khas orang Spanyol. Aku kembali menulis tentang hari pertamaku di Cordoba. Tapi ada sesuatu yang menghadangku untuk kembali menulis. Cowok di sebelahku yang kini menatapku yang menghiasi hariku dengan suara motornya. Aku balas menatapnya. Oh tidak! Aku membeku saat di bersuara.

"Hi. Apa kamu turis?" tanyanya.

"Emm hi.. iya aku turis," jawabku sambil menunduk.

"Dari mana asalmu?"

"Indonesia."

"Oh, kayaknya beberapa waktu lagi aku bakal ke sana."

Aku terdiam beberapa saat. Aku tak percaya hal ini terjadi. Tak pernah kubayangkan akan bertemu dengannya di sini sekarang. Dan sekarang aku dan dia mengobrol.

"Hey, kamu melamun?"

"Em.."

"Sudah lupakan. Siapa namamu?"

"Aku Izarra. Panggil aja Zarra."

"Nama yang cantik secantik orangnya."

"Gracias, Marc."

"Kamu bisa bahasa Spanyol?"

"Sedikit."

Aku dan Marc tenggelam dalam percakapan yang tak terlupakan. Kami membicarakan hal-hal tentang masa kecil, sekolah, hobi, karirnya sebagai pembalap MotoGP, sampai hal kecil yang tak seru diperbincangkan. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, hatiku tenteram mendengar tawanya, keringat tak kurasakan, tapi dadaku seakan-akan pecah karena detak jantungku yang semakin kencang. Apa yang kurasakan sekarang? Aku penggemarnya yang wajar jika meminta foto atau tanda tangannya saat ada kesempatan seperti sekarang. Tapi, aku tak melakukannya. Aku tak bisa keluar dari obrolan ini. Aku terperangakap dalam tatapan mata coklatnya yang membiusku.

Marc pembalap muda yang sangat hebat. Di musim MotoGP 2014 ini dia membuktikan konsistensinya dalam mendominasi awal musim dengan kemenangan dan pole position 10 kali berturut-turut. Aku semakin kagum dengannya. Aku sudah menyukainya sedari dia masih membalap di kelas Moto2.

"Panas ya," aku tak menyangka bisa membuka suara setelah lama kami terdiam.

"Iya. Oh ya, apa nanti kita masih bisa ketemu di sini?"

"Aku rasa bisa."

"Ok. Aku tunggu kamu jam 7."

Aku terdiam. Masih memperhatikan mata teduhnya dan gerak bibirnya yang membuatnya bak malaikat. Angin berembus lembut menyapu rambutnya yang sedikit berantakan tapi dia tetap menawan. Oh, rambutnya bikin aku mati.

"Zarra, aku harus pergi. Ada urusan penting dengan timku. Besok aku berangkat ke Jerez dan Almeria."

"Pergilah. Jangan buat timmu menunggu. Tapi kamu bakal datang kan jam 7 ke sini?"

"Urusan itu gak akan mengganggu kita nanti. See you, babe."

"See you."

Apa? Kenapa dia memanggilku babe? Dan sekarang ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutku. Ah, lupakan. Tak sabar menunggu jam 7, aku kembali menulis di buku harianku tentang Marc yang baru saja kutemui. Oh, bodohnya aku lupa minta foto bareng dan tanda tangan! Biarlah nanti kan aku dan Marc bakal ketemu lagi.



Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang