Adit mengetuk pintu kamar hotelku. Lalu kubuka pintu itu.
"Ra, beneran mau keliling sendirian?" Tanya Adit.
"Iya bener, Dit. Tenang aja gue kan pernah ke sini sendirian jadi gapapa kok," jawabku.
"Ya udah hati-hati. Nanti siang kita makan di restoran kebab yang kemarin itu ya. Inget kan jalannya?"
"Oh iya Dit gue inget. Berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum."
"Ya waalaikumussalam."
Hh buatku udara Cordoba di awal Januari sangat dingin. Pakaianku lebih tebal daripada orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Maklum, aku ini makhluk tropis. Namun, kepalaku terasa lebih hangat karena sekarang aku memutuskan untuk berhijrah dengan menggunakan hijab. Beberapa orang memperhatikanku dengan tatapan waswas mungkin mereka menyangka diriku ini imigran atau yah tahu lah maksudku merujuk ke kejadian yang belum lama ini terjadi di Paris karena wajahku memang sedikit arabic.
Aku berjalan melewati beberapa rumah warga. Aku mencium bau amis daging. Lalu, aku menatap ke arah kiri dan kananku. Ada daging babi digantung di depan rumah beberapa warga dan aku menyadari kalau hal ini dilakukan untuk meperlihatkan rasa setia terhadap Ratu Isabella semenjak tahun kesepuluh ia dan suaminya, Raja Ferdinand mengambil alih Granada, benteng Islam terakhir dari Dinasti Nasrid pada tahun 1492. Kaum Muslim dan Yahudi dibaptis massal dan bagi yang tidak mau dibaptis, mereka harus keluar dari wilayah Spanyol dan Portugal atau diadili lewat Mahkamah Inskusisi.
Miris rasanya berjalan di tanah ini. Aku orang asing di sini, benar-benar orang asing. Akhirnya setelah sampai di tempat favoritku di kota ini, Puente Romano, aku membuka buku harianku untuk menuliskan sebuah puisi yang kudedikasikan untuk Andalusia.
Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan puisiku yang berisi tujuh bait itu. Dari kejauhan, aku melihat seseorang yang kurindukan. Tapi tak tahu kenapa setelah aku melihatnya, aku ingin menjauh darinya. Aku masih menatapnya dan saat dia menatap ke arahku, aku berbalik dan terus berjalan dengan cepat menuju Torre de la Calahorra dan terus menjauh.
"Zarra!" Dia memanggilku. Oh ya Allah bagaimana aku menjelaskan sesuatu yang telah kutemukan kepadanya. Dia tak mungkin mempercayaiku.
Aku berjalan semakin cepat bahkan mungkin berlari. Aku tak fokus dengan itu yang penting aku tak bertatapan secara langsung dengannya. Tidak. Jangan sekarang. Aku belum siap, bahkan untuk diriku sendiri menerima hal itu.
Aku mulai lelah, aku berkeringat tapi aku tetap kedinginan. Aku berhenti di sebuah tempat yang sepi dan tak tahu di daerah mana aku berdiri sekarang. Aku takut. Aku gemetaran. Ketika aku sedang panik, seseorang menyentuh pundakku dan terasa sedikit sakit. Seketika, aku semakin gemetar dan kututup mataku memanjatkan doa kepada-Nya agar aku tetap diberi perlindungan.
"Ini aku, Zarra. Aku Marc. Berbaliklah, aku tak akan menyakitimu," ucapnya sambil membalikkan tubuhku. Aku masih terpejam.
"Buka matamu, Zarra. Tatap mataku, aku tak akan menyakitimu."
Perlahan kubuka mataku. Keringat dingin tetap bertahan di dahiku.
"Mmarrc..." suaraku parau.
"Apa yang terjadi? Kenapa sikapmu begini saat aku memanggilmu?" Tanyanya dengan dahi berkerut dan bibir digigit. Sungguh, aku ingin menyentuhnya. Tidak tidak Zarra kendalikan dirimu, dia bukan milikmu, tundukkan pandanganmu.
"Ok. Kamu bisa jawab pertanyaanku nanti. Tapi, kamu mau kan berjalan denganku. Ingat, aku tak akan menyakitimu."
"Ya," jawabku singkat.
Aku dan Marc berjalan bersama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ada kursi tuh. Ayo Zarra kita duduk di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Puente Romano de Cordoba
FanfictionDi jembatan ini pertama kalinya aku bertemu denganmu, cinta pertamaku yang tak pernah kubayangkan kisahnya menjadi seperti sekarang setelah penantian yang panjang, aku temukan sejarah yang terpendam, aku temukan impianku yang lama kusimpan, aku mene...