Part 20

200 8 2
                                    

Marc menyuruhku untuk naik tangga duluan. Aku menurutinya. Tangga ini akan membawaku menuju ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan, lalu ada pintu menuju dapur di dekat TV.

Ketika aku sampai di ruangan itu, hal pertama yang aku lihat adalah pantulan diriku di cermin sebuah bufet yang berhiaskan gambar angsa. Persis seperti yang pernah kulihat dalam sebuah video tentang dirinya.

Mama menyuruhku untuk duduk dulu di sebuah sofa yang bergaris-garis sambil nonton TV. Marc yang hanya membawa tas ransel membawanya ke kamarnya. Lalu dia balik lagi.

"Mau lihat kamarku dan Alex?" Tanyanya.

"Boleh gitu?" Aku bertanya balik.

"Iya boleh. Ayo."

"Oke. Dengan senang hati."

Kembali kutemui tangga. Tangga ini ada di sebelah pintu dapur. Kamu gak akan nyangka kalo di balik sebuah tembok ada tangga yang menuju kamar Marc dan Alex. Ada lima hiasan dinding yang berjajar mengikuti alur tangga membuat temboknya gak lelihatan kosong melompong.

"Nah, ini kamarku dan Alex. Aku tidur di kasur ini dan Alex di situ," jelasnya sambil menunjuk tempat tidur Alex yang menghadap jendela. Jendela itu sendiri menghadap ke bagian belakang rumahnya. Kamar yang sangat rapi untuk ukuran dua anak lelaki.

"Kamu kalo maen PS sama Alex di sini, kan?" Tanyaku. Padahal aku sudah tahu tentang itu. Tapi gapapa kali aku nanya? Supaya ada yang bisa diobrolin.

"Iya. Mau maen PS juga?" Tanyanya sambil tersenyum.

"Enggak, enggak. Aku gak bisa maennya," jawabku sambil nyengir.

"Nanti juga bisa kok. Mau tahu caranya supaya bisa?"

"Gimana caranya?"

"Aku bakal ngajarin kamu."

"Beneran?"

"Liat aja nanti."

Beberapa detik kemudian, Mama berteriak dari dapur menggunakan bahasa Catalan yang tak kumengerti, lalu Marc menjawabnya.

"Mama bilang makanannya udah siap. Mau bantuin aku beresin meja?"

"Mau."

Sembari menuruni tangga, Marc bercerita tentang kebiasaan Alex saat di rumah tanpanya.

"Kalo aku pergi lebih dari dua hari, pasti Alex langsung telepon aku," katanya.

"Kangen pasti, ya?"

"Iya, ya karena kita tuh emang deket banget dari kecil. Di telepon dia suka nanya, 'Marc, kapan kamu pulang?'. So sweet gak punya adik kek dia?"

"So sweet lahhh," jawabku sambil tertawa.

"Tolong rapikan taplaknya ya Zarra," pinta Marc.

"Iya," jawabku sambil memperhatikan Marc yang membawa piring dan gelas.

"Mm, Marc, Papa mana?" Tanyaku.

"Nganter kakekku ke Barcelona. Paling nanti malem banget baru pulang," jawabnya sambil menata piring dan gelas lalu ke dapur.

Aku mengikutinya. Rasanya gak enak kalo gak bantu-bantu di dapur. Aku kan cewek. Pantesnya ya di dapur.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanyaku.

Mama yang menjawab, "Ah, ini, Sayangku. Bisa tolong bantu Mama memotong puding ini? Lalu kita hias."

"Oh ya bisa." Aku pun mengambil pisau yang disodorkan Mama. Aku mengikuti yang Mama contohkan.

Puente Romano de CordobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang